Dari era revolusi hingga kini membangun diri sebagai kota modern, Makassar tetaplah primadona wisata. Destinasi plesir nomer satu di Indonesia bagian Timur.
Jarum jam belum menunjukkan pukul lima petang, tapi matahari sudah beranjak ke langit barat. Inilah suasana khas daerah di kawasan Timur Indonesia: mentari terbit lebih pagi, tapi kemudian tenggelam lebih awal, setidaknya bila dibandingkan kota-kota di wilayah lain.
Di sudut sore itu, tiga remaja puteri melenggang masuk ke Fort Rotterdam alias Benteng Ujung Pandang. Dengan sepeda gunung yang tampak terawat, Icha dan dua sebayanya ceria memasuki pintu utama benteng, lalu berputar di pelataran tengah, dan kembali menuju gerbang luar benteng yang dibangun Raja Gowa IX pada 1545 ini. “Senang sekali bersepeda di sini. Pemandangannya indah, dan suasananya nyaman,” kata Icha.
Fort Rotterdam adalah salah satu ikon budaya, sejarah, sekaligus tempat wisata Kota Makassar. Sebagai sebuah situs peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo, letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat kota, berhadapan dengan Pantai Popsa di tepi Selat Makassar. Benteng ini semula berbahan dasar tanah liat, sebelum Sultan Alauddin mengganti konstruksinya dengan batu padas dari Maros.
Yang unik, jika dipandang dari atas, Benteng Ujung Pandang berbentuk laksana seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Pilihan pada penyu menunjukkan filosofi bahwa hewan ini dapat hidup baik di darat maupun di laut, Begitupun dengan Kerajaan Gowa, yang di masa kekuasaannya berjaya di daratan maupun di lautan.
Di masa kolonialisme, Kerajaan Gowa-Tallo menandatangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Saat itulah, Belanda mengubah nama Benteng Ujung Pandang menjadi Fort Rotterdam, sesuai tempat kelahiran Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Cornelis Speelman. Benteng yang menjadi tempat tahanan Pangeran Diponegoro selama 21 tahun ini juga digunakan Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Di kompleks Benteng Rotterdam kini terdapat Museum La Galigo yang di dalamnya terdapat banyak referensi mengenai sejarah kebesaran Makassar dan daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. Singkatnya, kunjungan ke Makassar belum bermakna kalau belum singgah ke Benteng Rotterdam, yang meski terus dicat dan dirawat demi menjaga keindahan, tidaklah mengubah nilai sejarah serta arsitektur khas abad XVII.
Wisata pantai, wisata kuliner
Benteng Rotterdam dibangun persis di ujung tanjung yang banyak ditumbuhi tanaman pandan. Itulah sebab awal kota yang kini berpenduduk 1,3 juta ini disebut sebagai Ujung Pandan, yang kemudian diucapkan dengan dialek setempat menjadi Ujung Pandang. Penggunaan kata Ujung Pandang sebagai nama ibukota Sulawesi Selatan, menggantikan kata Makassar, berlangsung mulai 1971 hingga 1999. Alasannya saat itu, karena Makassar adalah nama sebuah suku bangsa padahal tidak semua penduduk kota Makassar adalah anggota etnik Makassar.
Nama Makasar berasal dari sebuah kata dalam bahasa Makassar “mangkasara” berarti ‘menampakkan diri’ atau ‘yang bersifat terbuka’. Ada juga yang menyebutnya dari frase “Akkasaraki Nabbiya”, artinya Nabi menampakkan diri, sesuai pengalaman spiritual Raja Tallo ke-VI Mangkubumi Kerajaan Gowa, pada 1605. Di era reformasi, nama Makassar kembali dipakai menggantikan sebutan Ujung Pandang.
Makassar kaya dengan pantai indah, termasuk Pantai Losari, landmark kota yang menjadi tempat nongkrong favorit layaknya Kuta di Bali atau Ancol di Jakarta. Penamaan Losari konon berasal dari kosakata bahasa belanda Logeren atau To Lodge (tinggal, menginap), namun karena pelafalannya susah, masyarakat lokal menyebutnya sebagai Losari. Keunikan pantai ini karena posisinya memanjang dari utara ke selatan, memungkinkan kita menyaksikan sunset dan sunrise dari titik yang sama.
Lebih menawan lagi, Makassar tak melupakan sudut-sudut peninggalan bersejarah sebagai sebuah heritage yang harus dipertahankan. Kawasan Pantai Losari menjadi fenomena karena di sini menjadi perpaduan dari bagian wilayah kota yang melekat fungsi-fungsi kompleks dalam morfologinya yakni sebagai heritage area, Central Bussiness District dan juga tempat wisata. Di seberang pantai, terlihat masih gagah berdiri RS Stella Maris, rumah sakit pertama yang dibangun di Makassar, dengan tidak mengubah arsitektur aslinya.
Sepanjang pesisir Pantai Popsa hingga Pantai Losari, wisatawan tak akan kekurangan tempat memanjakan lidah. Aneka makanan khas Makassar ada di sana, mulai Pisang Epe, Coto Makassar, sampai Es Palubutung dan Pisang Ijo. Pisang Epe merupakan pisang yang dibakar lalu diepe alias dipipihkan, lalu disiram dengan gula merah cair beraroma durian, kelapa sangria, keju, coklat ataupun kacang panggang.
Adapun Coto Makassar biasa dihidangkan dalam mangkok kecil berteman ketupat atau ‘burasa’, berisi isi perut (jeroan) sapi yang direbus dalam waktu yang lama. Rebusan jeroan bercampur daging sapi ini diiris-iris lalu dibumbui dengan bumbu yang diracik khusus. Wisata kuliner di Makassar baru lengkap bila sudah menikmati empat sajian ini: satu makanan utama, satu snack, dan dua minuman berbahan dasar pisang nan menyegarkan.
Senja telah usai, sang surya hilang dari pandangan. Piring-piring Pisang Epe dan Es Pisang Ijo pun telah bersih tandas. Tapi, Makassar, sang ayam jantan dari Timur, tak akan pernah kehilangan pesonanya.
Lamat-lamat terdengar lagu khas berkumandang,
“Angin mamari ku pasang, pitujui tontongana,
tusarua takkan lupa eaule na mangu rangi
Tutenaya, tutenatya parisina…
Wahai angin yang bertiup semilir, aku menitip pesan
Sampaikanlah hingga ke jendela rumahnya,
Pada dia yang sering melupakan…”
CB/Jojo