Dalam sebuah diskusi terbuka, AJI Jakarta dan FES meluncurkan buku panduan meliput terorisme. Karena isu teror terus relevan.
Seorang perwira polisi berguling-guling kesakitan. Tangannya putus bersimbah darah setelah gagal menjinakkan sebuah bom di Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur. Dengan kondisi mengenaskan, perwira polisi ini digotong menuju mobil ambulans. Seorang petugas keamanan yang juga menjadi korban ledakan bom tergeletak di halaman, beberapa orang berupaya menolongnya.
Sore, 15 Maret 2011, horor bom Utan Kayu ini ditayangkan beberapa stasiun televisi. Detik-detik meledaknya bom, potongan tangan terlempar ke udara, darah berceceran, dan perwira polisi berguling-guling ditayangkan sejak sore hingga malam. Setelah beberapa kali disajikan apa adanya, tayangan itu pun disamarkan sehingga darah, potongan tubuh dan wajah korban tak lagi kelihatan.
“Apakah kekerasan, kengerian dan horror dalam peristiwa bom Utan Kayu itu patut disajikan untuk masyarakat dari segala umur dan semua lapisan?” tanya Agus Sudibyo, anggota Dewan Pers yang juga Wakil Direktur Yayasan SET Jakarta, dalam diskusi peluncuran buku ‘Panduan Jurnalis Meliput Terorisme’ di Citywalk, Jakarta, Kamis (14/4).
Buku setebal 222 halaman hasil kerjasama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan FES ini terdiri dari 7 bab, dilengkapi aneka kisah nyata peliput teror, kesalahan-kesalahan jurnalis peliput terorisme sampai beleid-beleid apa saja yang membatasi gerak terorisme di Indonesia.
“Selamat untuk teman-teman AJI Jakarta dan tim penulis. Bukunya lumayan lengkap dan buku ini bagus. Dari sisi teori jurnalisme tak ada yang baru, tapi kontektualismenya yang baru,” kata Agus, mantan wartawan Jawa Pos di Yogyakarta itu.
Agus memaparkan, ada problem yang serius, bagaimana media memberitakan isu-isu terorisme. Pertama, adalah dilema kecepatan dan ketepatan. Kedua, dilema realisme dan kepatutan di wilayah publik. “Kalau kita melihat media penyiaran, orientasinya adalah kecepatan dan ketepatan. Media bertarung dengan media lain, tapi juga yang penting adalah kelengkapan. Tanpa itu tak bisa disebut berita,” paparnya.
Pembicara lain, Budi Setyarso, redaktur Majalah Tempo menekankan, meliput terorisme mutlak butuh keberimbangan. “Misalnya, melakukan wawancara dengan anggota keluarga dari mereka yang dituduh polisi terlibat teroris,” katanya.
Sebagai salah satu contoh kelemahan liputan teror yang utuh, Budi membeberkan alasan klasik jurnalis hingga kini tak bisa mewawancara Hambali antara lain karena akses terhadap terorisme sama sekali tertutup, terbatasnya deadline dan takut kehilangan akses. Atas kegagalan itu, wartawan kemudian cenderung mendramatisasi dengan melakukan rekonstruksi yang tak sama persis dan menambah-nambah musik yang dramatis pada TV. “Saran saya, jurnalis mengurutkan peristiwa, bila disambung peristiwa yang lain masuk akal tidak? Kalau kita belum bisa melakukan wawancara pada kesempatan pertama, kita lakukan wawancara pada kesempatan yang lain,” katanya.
Sementara itu, pengamat isu terorisme Andi Widjajanto menjelaskan perbedaan antara media di Barat dan Indonesia dalam meliput soal terorisme. “Media di Indonesia tak mengusut paradigma tertentu. Kalau kita ingin mengetahui operasi khusus untuk kontra militer AS di Afgan kita akan memilih Fox. Media-media lain yang lebih liberal seperti ABC, dan CNN, lebih mempersoalkan korban-korban warga sipil,” urainya.
Sementara, di Indonesia kita susah membedakan mana yang kanan dan yang kiri pada media kita. “Karena partai-partai juga tak jelas ideologinya kanan-kiri. Media juga tak ketat bermain pada rambu-rambu dan ruang-ruang itu. Hanya satu-dua media yg dekat dengan pemerintah SBY. Yg lain, kalau di media cetak, hampir-hampir tak ada bedanya,” kata Andi.
Juru bicara Mabes Polri, Boy Rafli Amar menghargai upaya penerbitan buku panduan ini. “Saya berharap media membantu, jangan sampai terorisme ini berkembang,” katanya. Boy menjelaskan, untuk mengusung kepentingan kelompok teror, para pelaku terorisme sangat senang dengan media. “Mereka membenturkan media dengan negara, dalam hal ini polisi,” katanya.