Lampu Merah Amsterdam

Catatan kenangan dua tahun silam, berkunjung ke kawasan remang-remang Amsterdam.

Red Light District Amsterdam. Pro-kontra legalisasi pelacuran.

Belum ke Jakarta kalau belum ke Monas, belum ke Surabaya kalau belum ke Suramadu, dan belum ke Yogya kalau belum ke Malioboro. Ungkapan-ungkapan semacam itu seperti menjadi penggalan wajib untuk menunjukkan “bukti” betapa kita telah menginjak sebuah kota, lengkap dengan landmarknya. Begitu pula saat tahu saya berada di Belanda, beberapa kawan menyapa, “Sudah ke Red Light District belum?”

Di Amsterdam, saya sempatkan lewat kawasan itu. Red Light District, yang antara lain mencakup Jalan Barndesteeg, Bethlehemsteeg, Bloedstraat, Dollebegijnensteeg, Enge Kerksteeg, Goldbergersteeg, Gordijnensteeg, Molensteeg, Monnikenstraat, Oudekerksplein, Oudekennissteeg, Oudezijds Achterburgwal, Oudezijds Voorburgwal, Sint Annendwarsstraat, Sint Annenstraat, Stoofsteeg dan Trompettersteeg.

De Wallen, itu nama umum area seluas 600 meter persegi yang sengaja didesain sebagai lokasi pelacuran legal di Belanda sejak tahun 1275 ini. Puluhan, sebuah situs bahkan menyebut 250, jendela kaca terhampar di sisi jalan yang langsung menjadi etalase bagi para perempuan penjaja sex. Jika ada yang tertarik, dan deal dengan harganya –more or less tarifnya 50 euro per 15 menit- maka sang konsumen langsung bertransaksi seks di jendela kaca.

Kalau anda sedang tak berselera bergumul dengan perempuan-perempuan itu, ada banyak alternatif lain. Sebutlah toko-toko piranti sex, sex teater, sex musem, musem canabis, dan juga aneka coffee shops. “Kedai kopi, apa istimewanya?”

Wah, jangan patah semangat dulu. “Asal tahu saja, yang disediakan di sini bukan kopi tubruk biasa. Tapi ganja dan aneka varian produk daun kanabis lainnya,” kata kawan baik yang siang itu memandu kami. Wow, ngopi dengan menghisap mariyuana? Anyone wanna to try?

Kreativitas nakal

Berfoto dengan latarbelakang ‘Erotic Museum’. Pesona lain Red District.

Dalam setiap keadaan yang unik selalu lahir kreativitas nakal. Di Red Light District banyak dijual kaos bertuliskan “Good Girl Go To Heaven, Bad Girl Go To Amsterdam (Red District)”. Kawan saya juga terbahak-bahak saat di kaca jendela sebuah kafe kopi kamuflase itu terpampang stiker “Smoking Allowed (But) No Tobacco”. Hahaha.. coba merokok apa yang bukan pakai tembakau?

Seorang peneliti dan freelancer writer, Alice Leuchtag pernah menulis paper berjudul “Human rights sex trafficking and prostitution (perspectives on prostitution)” yang menerangkan bahwa dari 250 rumah bordil di Red Light District Amsterdam, 80 persen pelacur di antaranya datang melalui perdagangan perempuan dari berbagai negara, dengan 70 persen di antaranya tanpa dokumen kerja legal.

Tanpa uang, tanpa kontrak kerja dan juga tanpa kontak dengan dunia luar, perempuan-perempuan imigran ini hidup dalam teror, Mereka kerap dipukuli dan diperkosa germo yang tak pernah terjamah oleh hukum. Ironis sekali, model legalisasi pelacuran ala Amsterdam ini justru dipuji oleh Belanda dan Jerman sebagai bentuk dari “pengembangan diri dan pemberdayaan perempuan”.

Ya, PSK-PSK di kota kanal ini (nama Amsterdam diambil dari posisi kota yang berada di pinggir Sungai Amstel. Singkatnya, Amsterdam berarti dam alias bendungan yang membendung Sungai Amstel) memang berasal dari berbagai negara di dunia.

Sekilas, para perempuan penjual diri di Red Light District Amsterdam ini jauh lebih berani dibanding koleganya di Dolly, kawasan pelacuran tersohor di Surabaya yang konon terbesar di Asia Tenggara.

Soalnya, kalau di Dolly, yang kini tarifnya sekitar Rp 150 ribu per jam, para penjaja seks tampil dalam “akuarium” dengan duduk berdempetan, di Belanda mereka tampil dalam ruang privasi sendiri-sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published.