I Amsterdam

Catatan kenangan dua tahun silam, serba-serbi menginjak Amsterdam.

Metro alias kereta bawah tanah Amsterdam. Pilihan lain transportasi cepat dan teratur..

Hari Minggu pertama di negeri tulip dipayungi cuaca cerah. Sebagian besar dari kami, 18 aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang hendak mengikuti kursus jurnalisme online selama tiga pekan di Radio Netherland Training Centre (RNTC) membulatkan tekad menjelajah ibukota Belanda.

Pelajaran pertama yang harus kami lewati untuk mencapai Amsterdam adalah bagaimana membeli karcis kereta api via mesin pencetak tiket otomatis. Kami pun langsung berakrab dengan mesin pencetak tiket dengan layar sentuh yang menyajikan layanan bilingual: Dutch and English. Pencet-pencet tangan di atas kaca, selesailah masalah. Saya memilih tiket ke Stasiun Amsterdam Central, untuk satu orang bolak-balik (return) pada hari Minggu, 25 April di kelas 2. Total uang koin yang mesti saya masukkan 8 euro 10 sen.

Tak sampai pukul 10, saya menjejakkan kaki di Amsterdam Central. Turun kereta, pengen benar buang air kecil barang beberapa tetes. Tapi, alamak, kaget benar lihat ongkos sekali pipis mesti memasukkan koin setengah euro. Pengalaman serupa terjadi saat beberapa jam kemudian menonton partai Liga Inggris Liverpool vs Burnley di bar Irlandia tak jauh dari kawasan lampu merah Amsterdam. Sebagai pengunjung kafe yang membeli minuman jahe barat (ginger ale) seharga 2,5 euro per gelas pun, saya tetap harus mencemplungkan koin 0,5 euro untuk membuang urine ke WC pub itu.

Banyak pilihan moda

Menyeberang ke Noord, pemukiman di seberang Amsterdam. Menumpang ferry gratis, free of charge.

Selain kereta biasa, ada pilihan moda transportasi lain yakni Metro, ini istilah untuk subway, yang menghubungkan Amsterdam ke stasiun-stasiun di kota lain melalui jalur bawah tanah. Sekilas, saya merasa pernah melihat arsitektur atap lengkung kereta bawah tanah ini di mana ya? “Oh, ya, di film Harry Potter,” kataku pada Malik, sesama peserta kursus yang menjadi rekan sepelancongan sepanjang hari. Dalam sekuel Harry Potter and the Chamber of Secrets, dikisahkan Harry berlari kencang di King’s Cross Station, menuju peron 9¾ untuk menumpang kereta Hogwart Express.

Dan, siang itu, saya berkesempatan mencicipi Metro, setelah Jose Batara Goa -guide saya nan baik hati di Amsterdam- mengajak bergereja ke luar kota, tepatnya di Amstelveen. Sebelumnya, Jose memberikan training kilat membeli OV-Chipkaart, kartu serbaguna seharga 17,5 euro yang dapat digunakan untuk berbagai moda transportasi di Belanda, ya kereta, metro, juga bis.

Ini baru cerita kecil tentang kota yang giat berkampanye dengan tagline “I amsterdam” lewat aneka poster, baliho, dan kain-kain rentang itu. Serba tertib, dan teratur, tapi juga mahal. Pengalaman bener, kalau untuk masuk ponten umum mesti bayar uang senilai 6 ribu rupiah sekali kencing, apa ya kemudian harus dibuang di celana atau di pinggir pohon?

0 Replies to “I Amsterdam”

  1. mahal tu mungkin karena negara kitanya aja kali mas yang ekonominya terpuruk dibanding negara lain. dan saya juga pingin merasaka kesana, bagaimana tinggal di sebuah negara yang semuanya serba teratur. 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published.