Catatan kenangan dua tahun silam, mencicipi Paris dari berbagai sisi.

Pada hari ke-17 menghirup udara Eropa, saya mencecap pengalaman 17 jam di Paris, ibukota Perancis yang dikenal sebagai kota mode, kota budaya, kota cahaya, kota romantis, kota seribu monumen, dan berbagai julukan lain.
Dengan reservasi tiket online eurolines senilai 83 euro pulang-pergi, kami bertualang menuju Paris. Eurolines merupakan jejaring bis internasional, yang melayani lebih dari 500 destinasi di 25 negara. Selain menyambungkan kota-kota besar Eropa seperti Amsterdam, Paris, London, Milan dan Barcelona, jaringan Eurolines juga merambah Maroko di benua Afrika.
Bis meninggalkan Amsterdam Amstel pukul sepuluh malam, menyusuri Rotterdam, Den Haag, Eindhoven dan Brussel Belgia. Dan Sabtu pagi, bis besar berkapasitas lebih dari 50 orang ini tiba di Gallieni, kawasan timur Paris yang menghubungkan kota berpenduduk 2,3 juta jiwa itu dengan jalur darat trans Eropa.
Langkah pertama begitu sampai di Paris adalah mencari tiket Metro (kereta bawah tanah) seharga 6 euro yang dapat digunakan sehari penuh. peta gratisan yang disediakan di stasiun menjadi petunjuk amat berguna. Begitu tiket dan peta di tangan, maka kita tinggal mencari obyek wisata dan kereta mana yang akan dituju.
tujuan pertama kami adalah Musee du Louvre, yang didalamnya juga berisi lukisan Monalisa, masterpiece Leo da Vinci nan kesohor itu. Museum ini juga dikenal sebagai Palais Royal, dibangun Raja Philippe II pada abad XII hingga ditinggalkan Raja Louis XIV, mematok tiket masuk 9 euro per orang.
Banyak pengemis di Paris

Puas berfoto dan memberi makan burung dara di Louvre, kami berjalan kaki menuju Notre Dame de Paris, alias Katedral, gereja berarsitektur gothic yang awalnya dibangun pada 1160. Di sinilah kami mulai menyebut “Paris, kota banyak pengemis”.
Seorang perempuan datang kepada saya, “Do you speak English?” tanyanya. Usai saya mengangguk, ia langsung mengeluarkan ‘senjata rahasia’-nya. Secarik kertas menjelaskan bahwa ia berasal dari Bosnia, mempunyai saudara laki-laki dan sudah dua bulan terdampar kehabisan uang di Paris. Ketika saya jawab, “Wah, saya juga turis, duit mepet,” perempuan itu masih mengiba, “Berapa sen sajalah…” Akhirnya kepingan satu euro berpindah tangan, tapi 15 menit kemudian saya sadar itu adalah sebuah modus. Beberapa perempuan lain tampak berkeliling katedral, juga dengan selembar kertas sebagai bahan meminta.
Pengemis-pengemis lain di Paris saya jumpai dalam berbagai modus. Di tengah kantuk saat naik kereta bawah tanah, teriakan seorang laki-laki menyadarkan penumpang satu gerbong. Pakaiannya rapi, tapi ia menggendong bocah balita dan membawa sebotol susu dalam tas. Saya tak bisa Bahasa Perancis, tapi tak sulit menebak isi pidatonya, “Susu anak saya hampir habis, tolong beri kami beberapa euro…”

Ada juga pengemis gaya konservatif, perempuan berkudung dengan kepala tertunduk di trotoar Avenue des Champs Elysees –jalan protokol utama yang menjadi sentra belanja Paris, ala Orchard Roadnya Singapura- lengkap dengan gelas bekas sebagai tadah uang di depan lututnya.
Tentunya kami juga singgah di Menara Eiffel, ikon Perancis setinggi 324 meter yang dibangun oleh arsitek Gustave Eiffel untuk menyambut pameran “Exposition Universelle” pada 1889. Tak banyak aktivitas kami di rerumputan bangunan tertinggi di Paris ini, pun tak tertarik naik ke atap menara dengan membeli karcis 13 euro per kepala. Di ruang publik Eiffel, banyak pemandangan lain yang disajikan gratis. Menyaksikan sepasang manusia berciuman sembari bergulingan, atau menikmati seliweran teman-teman dari India dan Afrika yang sibuk menjajakan aneka souvenir murah khas Eiffel. “For you, my friend, four for one euro,” sapa mereka menawarkan gantungan kunci miniatur Eiffel.
Itulah Paris, kota internasional yang bisa membuat orang mabuk kepayang dan berseru “Paris je t’aime! Paris, I love you!” Tapi bisa juga membuat sebal, saking banyaknya imigran di sana…