Catatan kenangan dua tahun silam, meresapi suasana kemerdekaan di negeri penjajah.
Belum satu minggu memori pesta Queen’s Day setiap 30 April, saya menikmati pesta lain. Liberation Day, yang di Belanda diperingati setiap 4 dan 5 Mei menjadi perpaduan antara seremonial upacara dan isak tangis serta hura-hura mengekspresikan kebebasan. Ya, negara yang pernah menjajah Indonesia ternyata bisa juga menghayati makna kemerdekaan.
Perhatikan beda antara “liberation day” dan “independence day”, yang dalam bahasa lokal Belanda disebut dengan istilah Bevrijdingsdag. Kalau anda buka di kamus artinya adalah “hari pembebasan”, bukannya “hari kemerdekaan”. Bevrijdingsdag dirayakan untuk mengenang lepasnya Belanda dari cengkeraman tentara Nazi Jerman pada 1945. Di Amsterdam, upacara seremonial mengenang korban Perang Dunia II berlangsung pada 4 Mei malam, dipimpin langsung Ratu Beatrix, termasuk prosesi mengheningkan cipta selama 2 menit pada pukul 20.00.
Saya berdiri di Dam Square, Amsterdam yang menjadi pusat peringatan Liberation Day. Alun-alun ini menjadi bersejarah karena diisi dengan landmark penting seperti memorial statue, Royal Palace (satu dari 4 istana ratu), serta lapangan tempat upacara Napoleon dan tentaranya saat menginvasi Kerajaan Belanda pada 1808. Lapangan ini selalu dipenuhi turis untuk memberi makan ratusan burung merpati yang beterbangan kian kemari sepanjang hari. Di seberang Dam Squre terhampar museum lilin orang terkenal, Madame Tussaud’s, yang ongkos masuknya 17 euro.
Bermasalah dengan syal
Masalah terjadi saat acara foto-memfoto saya alihkan ke sekitar Nieuwe Kerk, gereja tua yang kini berubah fungsi jadi tempat pameran. Asyik-asyiknya berjongkok mencari angle yang unik, seorang bule berteriak dari kafe tempatnya duduk. “Hey, Germany!” serunya. “No, i’m not Germany, i’m Indonesian,” teriak saya balik. “So, put your scarf of,” timpalnya lagi. Ooo… ampunilah Jojo… Ternyata dalam situasi hari peringatan kebebasan Belanda dari Nazi, saya lupa kalau syal yang melilit dinginnya leher, untuk melawan hawa dingin 7 derajat celcius, bercorak bendera kebesaran Jerman. Untung, setelah menyatakan khilaf dan memasukkan syal ke tas, masalah itu selesai begitu saja.
Dari Amsterdam, saya meluncur dengan kereta ke Haarlem, yang tiap tahunnya menggelar Bevrijdingspop, festival musik menyambut Liberation Day. Tua-muda, laki-perempuan, bayi sampai kakek-nenek larut dalam panggung-panggung terbuka di ibukota provinsi Belanda Utara berpenduduk 150 ribu jiwa ini.
Liberation Day masih menjadi acara meriah di Belanda, walau kelas keramaiannya masih di bawah Queen’s Day. Orang Belanda masih menghargai sejarah perjuangan moyang mereka. Salah satu wujud rasa bangga itu dilakukan dengan membentak seorang turis dari bekas jajahan mereka, yang berani-beraninya memakai syal Jerman di hari keramat…