Catatan kenangan dua tahun silam, belajar di negeri yang suka berbantah.
Dua hari sebelum terbang ke Belanda, kami mendapat pengarahan singkat di kantor Netherlands Education Support Office (Nuffic Neso), lembaga yang memberi kami beasiswa. Dalam acara itu disampaikan tetek-bengek tentang negara Belanda, mulai dari kebiasaan bersepeda, cuaca dan musim, harga makanan, sampai fakta bahwa orang Belanda memiliki tinggi badan rata-rata di atas semua orang Eropa.
Bagi saya yang menarik saat ditekankan bahwa orang Belanda itu “gemar berdebat”. Pantas saja kan kalau negara ini terkenal sebagai kawah chandradimukanya ilmu hukum, mulai dari kampus hukum terkenal di Leiden, para advokat dan pejabat hukum Indonesia kebanyakan dari Belanda, sampai KUHP kita pun masih peninggalan pemerintah kolonial.
Orang Belanda punya prinsip “lebih baik memperdebatkan masalah tanpa penyelesaian, daripada menyelesaikan masalah tanpa perdebatan”. Baru minggu pertama ikut kelas kursus multimedia di sini, saya sudah merasakan penerapan langsung pameo itu. Di kelas, meneer maupun mevrouw pengajar selalu merangsang kami untuk berdiskusi, saling berdebat, baik secara individual maupun kelompok. Dan sebagai apresiasinya, tak jarang dosen itu kemudian memuji kami dengan kalimat, “Interesting discussion!” Atau terhadap kelompok yang dinilai sukses mempertahankan argumentasinya dari cecaran grup lain mendapat hadiah kalimat, “Good, well defend!”
Pokoknya, nyaris tak ada kesempatan untuk tidak aktif. Kalau tahu yang mengacungkan tangan itu-itu saja, maka sang pengajar minta agar kesempatan dialihkan pada peserta lain. Dalam situasi seperti ini dampaknya jelas, kami belajar percaya diri dan tidak takut salah. Tentu saja, juga belajar lebih berani ber cas-cis-cus in English. Karena, sebagaimana lazimnya intelektual, para pengajar ini hormat akan kemampuan bahasa Inggris orang lain. Tahu lawan bicara tak lancar beringgris, juga tetap ditunggui sampai selesai mengutarakan maksudnya, tak peduli grammarnya ancur tak keruan.
Juga kalau ada lebih dari satu orang berbicara bersahutan di kelas. Si pengajar, atau lebih tepatnya disebut fasilitator, langsung mengingatkan, “Please, only one person speaks at one moment!” Akibat positif lain, dalam debat kita belajar menyusun logika dan menguraikannya dalam kata-kata yang runut dan jelas. Aspek lain, tentu ya itu tadi, belajar menghargai pendapat dan pembicaraan orang lain.
Memenangkan perdebatan
Dalam salah satu babnya, novel Negeri van Oranje (Bentang; 2009) –ditulis empat sekawan yang sukses meraih gelar di Belanda, memberi tips tentang bagaimana menjadi pelajar teladan di sini. Yang pertama disebutkan, mahasiswa harus rajin “menjawab pertanyaan dosen di kelas”. Disebutkan bahwa “.. di Eropa kita nggak bisa memakai strategi ala Indonesia berupa duduk di pojok belakang sambil pura-pura menutupi wajah dengan buku. Kuncinya adalah persiapan yang baik, karena mencoba sok tahu menjawab dengan pede tanpa membaca bahan terlebih dahulu sama saja bunuh diri.”
Selain menjawab pertanyaan, mahasiswa teladan juga harus pintar “bertanya kepada dosen”. Dipaparkan dalam novel itu, “Ini Eropa, Bung. Kita tidak bisa berharap lulus dengan menghindar dari bertanya dalam kelas. Namun begitu, bukan berarti kita juga bisa melemparkan pertanyaan asbun.”
Jadi, dames en heren (artinya ladies and gentlemen), inilah Belanda. Kalau Anda hanya diam, Anda akan lewat. Tapi, kalau Anda memenangkan perdebatan, meski itu tak membawa solusi sekalipun, Anda akan dihormati…
mantap banget mas, jd tertarik pngn datang ksna. saya follow blog’a mas, biar bisa baca tulisan yg lain jg. 🙂
wuiiih…bener” pendidikan yang menghasilkan SDM yang berkualitas, ndak asbun dan soktau, mantaapp …
Nice info, bermanfaat sekali Mas ulasannya 🙂