Catatan kenangan dua tahun silam, ketika rasa sepi melanda di negeri antah-berantah.
Salah satu penyakit yang kerap melanda mereka yang bepergian jauh dari rumah untuk waktu lama adalah “homesick” alias kangen negeri sendiri, kangen makanan kampung, dan kangen rumah beserta orang-orang tercintanya. Maka, meski masa “sekolah” di Belanda ini hanya untuk waktu tiga pekan, tapi saat briefing di kantor Netherlands Education Support Office (Nuffic Neso) Jakarta, kami juga mendapat pembekalan bagaimana mengatasi‘homesick’ di negeri orang.
Saat itu, Sita Wulandari, officer Neso Indonesia memainkan slide presentasi power point dalam Bahasa Inggris yang antara lain menyebutkan “fase-fase dalam homesick”. Yang saya ingat dari pengarahan itu, perasaan seseorang yang merantau ke sebuah tempat baru -kemudian mengarah ke ‘penyakit’ homesick- berlangsung dalam tiga tahap.
“Tahap pertama disebut honeymoon atau tourist,” kata Sita. Dalam fase ini, seorang yang baru pertama menginjak sebuah tempat di luar negeri cenderung akan bersenang-senang. Jalan ke sana-kemari, ketawa-ketiwi, kirim kartu pos, foto-foto, dan lain-lain.
Tahap kedua adalah fase “I hate this country”. Maka dimulailah segala perasaan jenuh dan muak pada negara itu. Ya pada makanannya, orang-orangnya, harga-harga nan mahal, dan banyak perbedaan lain dengan kampung haaman.
Tahap ketiga yakni masa penyesuaian atau masa penerimaan kepada negeri itu. Tentu ini mau tidak mau terjadi jika harus menempuh studi dalam waktu lama, program master atau doktor misalnya. Pada tahap “pasrah” ini, seorang yang homesick berada pada situasi “nerimo” dan kemudian menjadi mencintai negara itu.
Mengatasi homesick
Nah, pada setiap orang ukuran waktunya berbeda-beda. Berapa lama fase pertama terjadi, kemudian berapa tenggang waktu yang dibutuhkan untuk menuju fase kedua atau ketiga. Saya sempat merasakan jenuh juga pada saat-saat “menghitung hari” menjelang pulang ke tanah air. Kuliah ‘gak konsen, hawa dingin terus menusuk tulang, serta rasa pengen muntah karena tiap pagi lambung dijejali daging dan ikan mentah semakin menjadikan sindrom homesick berkuadrat-kuadrat. Apalagi di sela-sela kelas, seorang kawan memutar MP3 dari laptopnya lagu Indonesia Pusaka, “Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya… Indonesia sejak dulu kala, tetap dipuja-puja bangsa…”
Beberapa artikel memberi resep bagaimana mengatasi homesick, antara lain berkomunikasi dengan keluarga di Indonesia, makan masakan Indonesia, eksplorasi tempat-tempat baru, bertemu rekan sebangsa, bersosialisasi dengan teman seperjuangan dan berdoa.
Beruntung memang, selain cara-cara itu, saya cukup terbantu kondisi Belanda sebagai negara dengan koneksi internet tercepat kedelapan di dunia yakni 13,64 megabyte per detik. Lima besar negara dengan kecepatan koneksi internet terdahsyat dikuasai oleh Korea Selatan (memiliki koneksi bandwidth 23,7 Mb/s), Jepang, Rumania, Swedia dan Hongkong. Adapun Indonesia berada di posisi ke-134 dengan kecepatan sambungan 1.29 Mb/s. Maka di saat inilah, kotak pandora internet menjadi hiburan nan lengkap pun murah.
Saya telah mencoba semua cara untuk mengatasi homesick. Mulai langganan makan di restoran Indonesia, dan melampiaskan ngobrol dengan dialek Jawa Timuran di situ, sampai membelanjakan uang untuk beli SIM Card lokal maupun kartu telpon murah. Ah, I hope I (don’t) hate this country…
*) Bastion Hotel, Bussum Zuid, North Holland, 13 Mei 2010, mengatasi homesick diiringi lagu-lagu mas Katon. Salam hangat untuk semua kawan yang sedang jauh dari tanah air…