Washington DC: Pelajaran Kejujuran Kota Metropolitan

Menelusuri ibukota, menapaki sejarah panjang negara penuh kisah.

Berlatar Capitol Hill, dari lantai 6 Newseum. Pemandangan terbaik di Washington DC.

Dalam tulisan di Bandara Detroit kemarin, saya mengungkapkan pemeriksaan dokumen imigrasi maupun seluruh isi tas Eiger aman-aman saja melewati ketatnya petugas Custom and Border Protection di bandara pertama masuk Amerika Serikat. Seluruh isi tas ransel harus saya keluarkan, mulai notebook, kamera, sampai flexy yang mati. Begitupula sabuk dan sepatu mesti dilepas. Adapun tas koper, yang beratnya 17 kg dari kuota perjalanan 23 kg, begitu saya temukan langsung dilempar menuju ke bagasi penerbangan Detroit-Washington DC.

Namun, alangkah kagetnya saat jam 9 malam mendarat di Ronald Reagan Washington National Airport, koper biru berukuran jumbo itu tak ada sampai barang terakhir keluar perut pesawat. Ditemani Alan, panitia IVLP yang menjemput di bandara, saya pun mengurus klaim ke petugas Delta Airlines DC. Usut punya usut, koper masih di Detroit, dan mereka berjanji akan mengantarnya ke hotel tempat saya menginap. Sebagai pelipur lara, saya mendapat bingkisan polo shirt Delta Air.

Semalam di kamar hotel tanpa barang-barang di bagasi, tentu saja saya kelimpungan. But, show must go on. Minggu pagi (4/3) ini jadwal pertama dari panitia menanti: Washington DC City Tour. “Jangan lupa manfaatkan waktu ke AS untuk mengunjungi Newseum,” kata Direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Ignatius Haryanto, tiga hari sebelum saya berangkat mengikuti program International Visitor Leadership Program bertema Peliputan Pemilu di Era New Media.

Beruntung, jadwal pertama di Minggu bersuhu 3 derajat Celcius ini tertera mengunjungi Newseum. Kami berlima, peserta IVLP kali ini ada empat orang ditambah seorang pemandu, berangkat menggunakan Metro alias kereta bawah tanah. Berjalan kaki dari hotel menuju stasiun kampus George Washington University, kami membutuhkan dua kereta –Blue Line dan Green Line- untuk sampai ke kawasan Newseum.

Tiket masuk museum interaktif tentang news dan jurnalisme ini dipatok 21 dolar. Ada enam lantai, masing-masing mengumbar sejarah peradaban manusia dan, khususnya, dunia media. Mulai kepingan Tembok Berlin, pena Mikhail Gorbachev saat mundur sebagai penguasa Soviet, sampai puing menara Gedung WTC yang menjadi saksi serangan teroris pada tragedi New York 9/11.

Ah, tiga jam yang kami miliki rasanya tak cukup untuk mengeksplorasi museum yang juga menyajikan Front Pages Gallery, berisi halaman depan koran utama di 50 negara bagian AS dan belasan media lain di berbagai belahan dunia. Saya sendiri tercenung lama di depan giant screen lantai 3, menyaksikan paket tayangan video kampanye kandidat Presiden AS dari masa ke masa.

Mulai dari klip “I Like Ike” yang menjadi slogan pemenangan Dwight Eisenhower menjelang pilpres 1952 sampai youtube “Yes We Can” yang mengantarkan Barack Obama mengalahkan John McCain empat tahun silam. Setiap kandidat memiliki cara tersendiri dalam berkampanye menggunakan media audio visual, dengan tagline dan gaya khas masing-masing. Pelajaran strategi kampanye yang menarik melihat Bill Clinton meraih simpati publik dengan menggunakan video masa remajanya saat bersalaman dengan John F. Kennedy.

Kunjungan berakhir dengan mengambil foto di lantai 6, yang diklaim sebagai “tempat terbaik mengambil gambar di DC”, dengan latar Gedung Kongres Capitol Hill berdiri megah di belakang. Aksi potret-memotret sempat tertunda karena awalnya pintu kaca ke Pennsylvania Avenue Terrace ditutup. “Ada alasan keamanan yang tak bisa kami sebutkan,” kata volunteer museum menjaga ketat akses menuju teras lantai enam Newseum. Usai tengah hari, teras dibuka. Belakangan kami tahu, Presiden Barack Obama baru melintas  di bawah, dalam perjalanan menuju lokasi pertemuan American Israel Public Affairs Committe (AIPAC) yang juga dihadiri Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

Koper yang tertinggal

City Tour mampir ke White House. Demo bertahun-tahun menolak senjata nuklir.

Usai mengeksplorasi Newseum, kami bergabung bersama rombongan IVLP bertopik Perempuan dan Politik, dengan peserta dari Asia Selatan dan Timur Tengah. Dilayani mobil Awards Limousine berkapasitas 15 orang, rutenya Gedung Putih, Capitol Hill, Monumen Washington, Franklin Roosevelt Memorial, Marthin Luther King Jr. Memorial, Thomas Jefferson Memorial dan Abraham Lincoln Memorial.

Sepanjang perjalanan dengan minibus, Tour Director kami, Ken Insley, terus berceloteh menjelaskan sejarah setiap area histori yang kami lewati. “If you speak two languages, you‘re bilingual. If you speak three languages, you‘re multilingual. If you speak only one language, youre American,” paparnya membanggakan kutipan terkenal yang menonjolkan persatuan dan nasionalisme Amerika Serikat.

Kelar berkunjung ke Lincoln Memorial, seorang peserta dari India panik mengetahui tasnya hilang. “Ada paspor saya juga di situ,” teriaknya. Setelah diingat-ingat, ia merasa tasnya tertinggal saat mampir ke Roosevelt Memorial. Limo kami pun kembali ke sana, dengan kata-kata menghibur berharap keberuntungan dari Ken, “Pagi tadi, saya mengembalikan i-pad milik orang asing yang tertinggal di hotel.”

Benar saja, sampai di Roosevelt Memorial, Ken dan perempuan itu berlari turun dan kembali dengan wajah berseri. Tas itu tergeletak di luar, dan seseorang memberikannya ke pengelola toko buku Roosevelt Memorial. “And now guys, kalian bisa bercerita ke seluruh dunia tentang betapa jujurnya orang Amerika,” kata Ken.

Jam 5 sore, Limo menurunkan kami tepat di depan hotel. Saya bergegas bertanya, adakah pihak Delta Air mengirim koper bagasi saya. Seorang roomboy berkata, “Barang itu sudah di kamar Anda.” Bergegas saya naik lift menuju kamar di lantai 6, dan terrific, koper yang tertinggal itu berdiri utuh di situ!

Salam subuh dari Hotel River Inn, Washington DC

0 Replies to “Washington DC: Pelajaran Kejujuran Kota Metropolitan”

Leave a Reply

Your email address will not be published.