Sisi lain program IVLP 2012, merasakan pengalaman jadi sukarelawan.
Rangkaian acara International Visitor Leadership Program (IVLP) 2012 benar-benar kaya kegiatan. Mulai bertemu pakar politik, berkunjung ke berbagai surat kabar, mengikuti kelas jurnalisme online di sekolah dan kampus, menghadiri babak awal pilpres serta pilkada di sebuah kota, sampai bertemu kandidat presiden dari partai alternatif.
Siang kemarin, pengalaman semakin bertambah saat buku program kami menegaskan skedul: Volunteer Activity. Usai pagi harinya main ke sebuah SMA swasta dan mengikuti kelas new media bergabung dengan ABG-ABG di Judge Memorial Catholic High School, kami bertemu dengan redaktur koran mingguan gratis City Weekly.
Melewati waktu makan siang, mobil Le Bus sewaan membawa kami ke sebuah kantor lembaga sosial, Globus Relief. Ternyata ini adalah NGO yang bergerak dalam perawatan kesehatan, seperti menyediakan kursi roda, mengadakan operasi bibir sumbing, dan berbagai pertolongan medis di era bencana. Leung Nam, kawan seperjuangan saya dari Hongkong, begitu bersemangat saat membuka album foto di ruang tamu Globus Relief. “Look at this, Jojo. It’s Aceh,” katanya sembari menunjukkan kegiatan LSM ini saat menangani korban tsunami delapan tahun silam.
Setelah mengisi formulir menjadi sukarelawan, di antaranya pernyataan tak akan menuntut jika terjadi kecelakaan kerja dalam kegiatan ini, kami masuk ke ruang dalam. Uuuuupppss, dari balik pintu itu tampak gudang nan megah. Suasananya mirip seksi pengepakan dalam pabrik. Barang-barang menumpuk dan kendaraan elevator menanti digunakan, minus orangnya saja yang amat sepi.
Seorang perempuan yang jabatan resminya volunteer coordinator memberikan pengarahan. Ada beberapa tahapan pekerjaan harus kami lakukan: mengambil lembaran karton yang masih tertumpuk panjang-panjang, melipatnya menjadi boks seukuran kardus indomie, mengisinya dengan 10 selimut dilipat rapi, membungkus dengan selotip, lalu menempelkan stiker bertuliskan ’10 flat sheet’.
Dua jam penuh pekerjaan menjadi sukarelawan itu kami lakukan, dari jam 1 sampai 3 siang. Hanya berempat, tak ada volunteer lain. Saya berusaha menutup lelah dengan bernyanyi, “Ayo kawan kita bersama, menanam jagung di kebun kita, ambil cangkulmu, ambil pangkurmu, kita bekerja tak jemu-jemu…” Alain Chen, kawan senasib dari Taiwan yang tentu tak paham lagu itu hanya meledek, “Jojo, you are now Indonesian labour in United States…”
Bertemu kandidat presiden
Usai bekerja sosial, benar-benar sosial dan hanya mendapat ucapan terimakasih berupa sebotol air mineral, kami bergerak ke agenda berikutnya. Kami bertemu Ross ‘Rocky’ Anderson, mantan Walikota Salt Lake City yang mencoba peruntungan sebagai calon presiden alternatif, di luar kekuatan besar Partai Demokrat dan Republik. Asal tahu saja, selain Obama vs McCain, Pilpres 2008 juga diikuti 4 kandidat lain dari partai kecil yang bertarung di tingkat nasional, serta 17 kandidat penggembira yang bertarung di beberapa state saja.
Kali ini kami bertemu Rocky, jebolan Partai Demokrat yang keluar dari partai berlambang keledai itu. Pria 61 tahun ini tengah berusaha keras menggali dukungan, dana, dan simpati publik, sehingga pada Pilpres 6 November nanti namanya bisa bertarung di banyak negara bagian.
Tim pemenangan divisi media Rocky Anderson menemui kami. Menjelaskan visi misi dan strategi apa yang mereka gunakan. Mereka mengutip pernyataan ahli komunikasi politik David Kravets yang menekankan bahwa teknologi informasi selalu terlibat dalam revolusi modern. Revolusi Filipina satu dekade lalu tak lepas dari peran besar sms dan berita televisi. Sebelumnya, Revolusi Iran terjadi atas maraknya penggunaan ‘audiocassete’ alias rekaman sebagai senjata perlawanan. “Adapun Tiananmen disebut sebagai fax revolution, karena menganggap dunia di belahan lain lebih maju dalam penguasaan informasi, hanya karena memiliki mesin faksimili,” kata Devan Bailey, staf pemenangan Rocky Anderson. Sisanya kita tahu bersama, revolusi di Tunisia, Mesir, dan Yaman tak bisa berlangsung sukses tanpa ‘pertolongan’ facebook dan twitter.
Pengalaman nan berarti saya cecap dalam sehari: menjadi pekerja sosial, dan kian memahami peran besar sosial media.
Salam Selasa subuh dari kamar hotel Little America, Salt Lake City.