Seandainya Kereta Menjangkau Semua Jakarta

Penopang transportasi publik utama sebuah kota besar, selayaknya adalah kereta api.

Suasana di dalam Commuter Line BSD-Palmerah. Cukup Rp 6 ribu: cepat, nyaman, dan sejuk.

Dalam dua bulan terakhir, setidaknya ada tiga pejabat menjadi buah bibir karena aksinya menumpang Kereta Api Jakarta alias Commuter Line. Menteri Dahlan Iskan saat berkunjung ke Depok dan Bogor, Calon Gubernur DKI Joko Widodo kala hendak memberi kuliah umum di Universitas Indonesia Depok, dan terakhir Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Scot Marciel.

Dalam perjalanan menuju Pondok Pesantren An-Nur, Kamis (12/4) Marciel memilih menggunakan Commuter Line dari Stasiun Gambir, tepat di depan kantornya di Medan Merdeka Selatan Jakarta, menuju Bekasi. “Cepat, nyaman, dan sejuk,” begitu kesan Marciel saat kereta tiba di Bekasi, seakan melupakan waktu 40 menit menunggu saat kereta tertunda, terhambat mogoknya KRL ekonomi dari Stasiun Jakarta Kota  di Mangga Besar.

Sebagaimana dimuat Kompas, dalam perjalanan naik KRL, Marciel sempat berbicara dengan sejumlah penumpang yang kebetulan berada dalam gerbong yang sama. ”Mereka (penumpang) ramah,” katanya. Menurut sejumlah staf Kedutaan Besar AS, perjalanan naik KRL ke Bekasi merupakan pengalaman kedua bagi Marciel, lulusan University of California at Davis dan sejak 1985 bekerja di Kementerian Luar Negeri AS. Sebelumnya, Marciel juga sempat merasakan perjalanan naik KRL bersama sejumlah pejabat KAI. Saat ditanya perbandingan antara KRL dan perkeretaapian di AS, Marciel dengan mantap mengatakan, “Setara.”

Kereta sebagai panglima

Suasana dalam kereta subway di Washington DC. Kata Pak Dubes setara dengan KRL?

Sehari sebelum Dubes AS menggunakan Commuter Line ke Bekasi, saya berkesempatan menjajal moda transportasi serupa. Bedanya, saya naik dari Stasiun Rawabuntu, Serpong, menuju Stasiun Palmerah. Usai menitipkan mobil menjalani rawat inap di bengkel kawasan BSD City, saya harus segera menghadiri rapat section koordinator daerah di kantor Kompas TV, Rabu (11/4) malam lalu. Sempat berpikir menggunakan bis Trans BSD tujuan Ratu Plaza, tiba-tiba timbul ide cerdas lain, kenapa tidak pakai kereta? Maka, sedikit lebih jauh dari arah bengkel, saya pun tiba di Stasiun Rawabuntu.

Stasiun kecil ini mencerminkan kondisi kelas menengah warga sekitar Jakarta. Setiap pagi, penduduk BSD dan sekitarnya memarkir mobil-mobil elit di pelataran stasiun, untuk berganti moda menggunakan transportasi publik menuju tempat pekerja di jantung ibukota. Hanya membayar Rp 6 ribu, perjalanan ke arah Stasiun Kebayoran, Palmerah atau Tanah Abang dapat ditempuh tak sampai sejam. Stasiun-stasiun itulah yang selanjutnya menghubungkan mereka ke tempat kerja di lokasi strategis seperti Senayan, Sudirman, Gatot Subroto, Menteng, atau Kuningan. “Jauh lebih murah dibandingkan kereta serupa di Hongkong, yang tiket sekali jalannya setara Rp 60 ribu,” kata August Susanto, warga Bumi Serpong Damai, mantan wartawan yang kini jadi pilot sebuah maskapai penerbangan swasta.

Gubernur Jakarta Fauzi Bowo mengaku, sejak puluhan tahun lalu ia sudah ngotot agar pembangunan transportasi massal Jakarta paling efektif dengan moda  transportasi berbasis rel. Dalam wawancaranya dengan Vivanews, ia mengaku disentak Ali Sadikin gara-gara terus menagih kapan Jakarta mengembangkan transportasi kereta bagi warganya.

“Waktu saya mulai kerja di DKI pada 1972, saya saban hari jadi sasaran Bang Ali Sadikin. Ini gara-gara saban ketemu sama dia, saya ngomong terus soal kereta api. Berkali-kali saya kena asbaknya. Mejanya panjang, karena saya paling muda saya duduk paling ujung. Dia merokok. Biasanya saya suka nyeletuk tiap kali ada pembicaraan soal sistem transportasi Jakarta, “Pak, kereta api.” Kata Bang Ali, “Elu ngomong kereta api melulu.” Terus kena asbak deh, saya …

Sementara itu, dalam wawancara panjang di media yang sama, calon gubernur independen Faisal Basri juga menegaskan transportasi kereta api merupakan tumpuan utama Jakarta memecahkan kebuntuan kemacetan.

“Di Jakarta ini ada harta kekayaan yang luar biasa yang namanya rel kereta api double track. Yang hampir mengelilingi seluruh Jakarta. Yang kalau kita benahi, tak perlu ganti rugi. Tidak perlu macam-macam dan bisa berubah total konsep pembangunan kota ini. Tinggal beberapa kilometer saja sudah nyambung itu. Sekarang link-nya saja sudah mulai bagus…”

Stasiun bawah tanah Foggy Bottom, Washington DC. Bisa dibangun juga di Jakarta.

Bicara negara maju, kereta memang syarat utama untuk menampung percepatan warga kota yang kian sibuk. Bisa lewat kereta bawah tanah, seperti pernah saya nikmati di Amsterdam maupun Washington DC. Bisa juga lewat kereta yang sejajar dengan jalan raya alias trem, juga ada di Amsterdam, Salt Lake City, dan Portland. Pengalaman dalam video ini misalnya, menunjukkan betapa Otoritas Transportasi Utah amat memanjakan penduduk Salt Lake City dengan kereta gratis ke arah downtown. Bila ingin bergeser sedikit ke luar pusat kota, pengguna trem cukup membayar karcis 1 dolar.

Kereta api adalah cara cepat menuju tujuan, bebas macet.  Sayangnya, tak semua perumahan di Jakarta punya akses yang baik ke stasiun kereta api. Seandainya saya ingin menggunakan kereta api dari rumah di Ciledug menuju kantor di Palmerah, misalnya, saya harus menempuh perjalanan motor, atau ojek, amat jauh menuju Stasiun Sudimara atau Pondok Ranji. Jarak menuju stasiun itu hampir sama dengan perjalanan dari rumah ke kantor sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published.