Aksi ini juga dimaksudkan sebagai pemanasan May Day. Menolak kesewenang-wenangan PHK oleh perusahaan media.
Selasa (24/4) siang, dua bis Metromini trayek 91 jurusan Kampung Melayu-Manggarai berarakan menuju kawasan barat Jakarta. Berangkat dari markas LBH Jakarta di kawasan Jl. Diponegoro, iring-iringan Metromini bersama motor dan mobil bak terbuka berpelantang nyaring ini punya misi menentang ketidakadilan yang dialami pekerja media di dua perusahaan.
Lokasi pertama ke kantor Metro TV di Kedoya. Tepat jam 12, aksi dimulai di kantor yang berdiri megah laksana hotel berbintang itu. Maklum pemiliknya, Surya Paloh, juga dikenal sebagai bos hotel, setidaknya Hotel Papandayan di Bandung dan Hotel Sheraton Media di Kemayoran, Jakarta Pusat. Sekitar 70 jurnalis dan buruh mengambil posisi, berbaris, lalu berorasi, membela Luviana, produser Metro TV, yang dinon-jobkan dari ruang redaksi akibat sikapnya mengkritisi kebijakan perusahaan. Para pengunjuk rasa berdiri tertib di luar pagar utama, dipisahkan belasan polisi dan keamanan internal yang memelototi aksi itu. Di belakang para penjaga, beberapa karyawan Metro TV dan Harian Media Indonesia ikut nimbrung menyaksikan unjuk rasa.
“Apakah kalian yang berseragam biru-biru di sana juga buruh? Ya, karena kalian juga pekerja, menggunakan tenaga, akal, dan pikiran kalian sebagai alat produksi. Kalian sama sekali bukan pemilik perusahaan ini,” teriak Sultoni, Koordinator KASBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia).
Sementara itu, Kustiah, koordinator Divisi Serikat Pekerja Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menyoroti penggunaan frekuensi yang digunakan Metro TV sebagai alat kampanye politik Surya Paloh dan Partai Nasional Demokrat bentukannya.
“Ingat, kalian menggunakan frekuensi yang adalah milik publik, digunakan untuk berkoar-koar dengan jargon restorasi, tapi nyatanya berbuat sewenang-wenang terhadap karyawannya,” kata Kustiah.
Para pengunjuk-rasa bernaung di bawah bendera Aliansi Metro (Melawan Topeng Restorasi), sebagian di antaranya mengenakan topeng. Sebelum beraksi ke kantor Metro TV, Aliansi ini telah melakukan sejumlah upaya pengaduan ke berbagai instansi negara. Mulai dari Komnas HAM, Komisi IX DPR RI hingga ke Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Namun Manajemen Metro TV tak bereaksi.
Selain mengutuk keras keputusan pembebastugasan Luviana sebagai tindakan ilegal dan melanggar HAM, Aliansi menuntut Metro TV untuk memberikan ruang bagi kebebebasan bersuara dan berekspresi kepada seluruh karyawannya. Mereka juga meminta Metro TV tidak menghalangi Luviana yang berinisiatif membentuk Serikat Pekerja Metro TV.
Dua jam berorasi, silih berganti perwakilan dari AJI Jakarta, AJI Indonesia, pekerja pabrik, buruh migran, buruh transportasi, aktivis perempuan, kaum miskin kota sampai wakil gerakan mahasiswa, demonstrasi diakhiri dengan penyerahan dukungan internasional atas aksi ini. Lembar folio raksasa berisi surat dari International Federation of Journalist (IFJ) diterima Jamal, perwakilan Human Resources Management Metro TV. Surat itu berisi kecaman IFJ kepada manajemen Metro TV atas perlakuan yang diterima Luviana. “Kami mendesak Metro TV agar menghormati hak-hak asasi karyawannya, termasuk kebebasan berekspresi serta hak mendirikan serikat pekerja,” tulis surat resmi IFJ itu. IFJ merupakan organisasi wartawan internasional yang mewakili 600 ribu jurnalis di 131 negara.
Bergeser ke Kebayoran Baru
Lewat jam 2 siang, dari Kedoya, peserta aksi beranjak ke alamat redaksi Indonesia Finance Today (IFT) di seberang masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru. Berteman makan siang berupa nasi bungkus berlauk orek tempe kering dan separuh telur dadar, bis melintasi bilangan Kebon Jeruk, Jalan Panjang, Permata Hijau, Arteri Pondok Indah dan Senayan. Setengah jam perjalanan, sampailah solidaritas ini di kantor koran bisnis yang baru berumur 1,5 tahun itu.
Baru-baru ini, manajemen PT Indonesia Finanindo Media, perusahaan penerbit harian Indonesia Finance Today (IFT) memecat 13 orang jurnalis IFT yang memperjuangkan hak normatif dengan membentuk Serikat Pekerja Sekar IFT. Pemecatan sepihak itu terkait erat dengan sikap Serikat Karyawan IFT menuntut manajemen mengembalikan pemotongan gaji sepihak 5%-27,5% yang dimulai Februari 2012, membayarkan kompensasi tunai atas tunggakan Jamsostek selama lebih dari setahun, dan membayarkan tunggakan tunjangan kesehatan tahun 2011. Kesemua tuntutan karyawan itu sebenarnya merupakan hak yang telah diatur dalam Perjanjian Kerja Sama (Kontrak Kerja) yang dilanggar sendiri oleh manajemen.
Aliansi Melawan Union Busting beranggapan, perbuatan manajemen PT Indonesia Finanindo Media jelas merupakan pelanggaran hukum yang berat. Tidak saja melanggar Pasal 28 UU No 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja, lebih jauh lagi tindakan mereka melanggar Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Berbagai tuntutan disuarakan Aliansi, antara lain menuntut manajemen PT Indonesia Finanindo Media mempekerjakan kembali 13 karyawan yang dipecat. Selain itu, juga desakan agar manajemen mengembalikan gaji yg dipotong untuk seluruh anggota dan pengurus Sekar IFT, serta pembayaran tunjangan kesehatan dan jamsostek.
Lima perwakilan Sekar IFT sempat diterima masuk oleh manajemen, didampingi aktivis serikat pekerja AJI, Winuranto Adhi. “Pihak HRD mendengarkan keluhan kami, tapi tak ada jaminan tuntutan dipenuhi,” kata Abdul Malik, aktivis Sekar IFT. Dalam orasinya, Malik menyampaikan, kondisi pekerja media di Indonesia tak lebih baik dari pekerja pabrik. “Kami bekerja lebih dari 12 jam, melebihi buruh manufaktur, tapi Jamsostek pun tak dapat. Kami meneken pakta integritas, tapi justru manajemen di dalamnya bobrok,” teriaknya.