Pencapaian terbaik musim lalu lepas dari genggaman Liverpool.
http://www.youtube.com/watch?v=IhD1si3S0YQ
Maksud hati coba-coba pemain pelapis dan memberi rehat pemain utama di tengah padatnya jadwal Liga Inggris dan Liga Eropa, Liverpool harus rela kehilangan gelar juara Piala Liga. Perihnya, kalah KO itu diterima di kandang sendiri, 1-3 di Anfield, dari klub yang pernah dibela manajer Liverpool Bredan Rodgers dan gelandang pengumpan terbaik mereka, Joe Allen.
Menampilkan “bukan pemain Liga Primer”: Jack Robinson, Sebastian Coates, Jordan Henderson, Stewart Downing, Samid Yesil, Joe Cole dan Oussama Assaidi, The Reds jadi bulan-bulanan tim peninggalan Rodgers. “We don’t need you any more,” begitu koor para pendukung Swansea yang datang dari Wales ke Liverpool. Sebenarnya, di pekan perdana Liga Primer tahun ini pun, kedua tim sudah menampakkan bedanya. Swansea, yang kini dibesut legenda Denmark Michael Laudrup, menang 5-0 di kandang QPR, sementara Liverpool keok 0-3 dari West Brom.
Sudah ditakdirkan, Piala Liga, yang kini beralih sponsor dari bir Carling ke perusahaan perbankan Capital One, hanya menjadi prioritas keempat, setelah Liga, turnamen Eropa, dan Piala FA. Secara duit, hadiah bagi juara Piala Liga hanya 100.000 pounds, masih lebih kecil dibandingkan gaji sepekan Steven Gerrard. Nominal hadiah setara Rp 1,5 milyar pun masih di bawah juara kompetisi Liga Super Indonesia. Bandingkan dengan juara Piala FA yang mendapat 2.000.000 poundsterling. Tapi, tetap saja, kalah ya kalah. Kehilangan sebuah gelar, yang menjadi pembeda Liverpool dengan Manchester United dan Arsenal musim lalu adalah ‘sebuah gelar juara, tetap menyakitkan.
“Nama Liverpool dan Anfield amatlah besar. Jadi, menang di sini adalah pencapaian besar,” kata Laudrup, yang timnya hanya dua tapak langkah lagi menuju Wembley.
Anggota skuad Barcelona juara Piala Winner 1992 itu pun bermimpi, Swansea mengikuti jejak Getafe, klub asuhannya pada 2008, yang sukses menembus final Copa del Rey.
Masalah finishing
Kembali ke kekalahan Liverpool. Brendan Rodgers bertobat dari masa coba-cobanya dengan menyuruh Steven Gerrard, Luis Suarez dan Raheem Sterling masuk pada babak kedua. Bukannya segera menyamakan kedudukan, kehadiran Gerrard dan Suarez disambut kecolongan lini belakang dan membuat keadaan makin susah. Alhasil, meski Suarez kembali menambah rekor golnya, sandaran terlalu besar pada laki-laki Uruguay itu tak cukup membuat Liverpool mempertahankan gelar.
Maka, siapapun solusinya, mau Gary Hooper, Robbie Keane atau Didier Drogba –konon ada pendukung Liverpool yang akan berhenti menjadi Liverpudlian kalau Drogba jadi berseragam merah, Fenway Sports Group harus mendengarkan apa kata Rodgers untuk segera mendatangkan bomber baru. Raheem Sterling bagus untuk mengacak-acak sisi sayap, tapi mengandalkannya sebagai pencetak gol regular sama saja dengan menyuruh anak SD mengerjakan tugas matematika dengan soal-soal jurusan tiga angka nan memusingkan. Sementara itu, jagoan yang digadang-gadang Rodgers, Fabio Borini, belum tahu kapan bisa merumput lagi. Kalaupun bisa tampil di akhir tahun, pikirannya mungkin masih terbelah, antara rumah yang telah dibelinya di Roma, dan adaptasi kehidupan barunya di Liverpool.
Lini belakang bisa dibenahi, asalkan Martin Skrtel dan Daniel Agger bisa sesolid Sami Hyypia dan Stephane Henchoz. Kiperpun masih bisa diatasi, karena meski kebobolan tiga gol, Brad Jones tetap menjadi pemain terbaik versi jurnalis Liverpool dalam partai semalam. Tapi, lini depan adalah kunci. Sejauh keputusan peraturan sepakbola tak berubah, kemenangan ditentukan lewat jumlah gol, dan bukan seberapa besar possession atau penguasaan bola.