Phnom Penh, Selamat Datang di Jakarta Zaman Biyen

Suasana hommy menyergap begitu taxi membawa kami keluar dari bandara.

Jalanan kota Phnom Penh. Bangunan tua tapi dicat bersih.
Jalanan Phnom Penh. Bangunan tua tapi dicat bersih.

Empat hari ini, sampai Selasa (18/6), untuk sebuah pertemuan jurnalis internasional, saya terdampar di Kamboja. Mendarat akhir pekan lalu, lewat penerbangan yang tersambung dari Kuala Lumpur, rasa sebagai “keluarga Asia Tenggara” langsung hinggap begitu Boeing 737-300 milik Malaysia Airlines mendarat di Phnom Penh International Airport.

Begitu taxi yang kami gunakan meninggalkan bandara menuju kawasan Sisowath Quay di bilangan pusat kota Phnom Penh, tarif sudah dipatok 9 Dollar AS, ingatan langsung terputar ke Jakarta era 1970 hingga 1980-an.

Selain iklim yang identik, kesamaan tercipta lewat bangunan-bangunan dengan konsep konservatif, jumlah penduduk tak banyak, dan ciri khas negara berkembang: lalu-lintas dipenuhi motor. Bedanya, di kerajaan yang pernah dikuasai Thailand, Vietnam, Perancis, dan Jepang ini, kendaraan bermotor berjalan dengan setir kiri. Tentu dengan aturan penggunaan lajur berbeda dengan aturan setir kanan layaknya Indonesia.

“Wah, rasanya hommy sekali di sini,” kata Irham Duilah, reporter Radio 68H, kawan seperjalanan yang menemani mengikuti International Federation Journalist (IFJ) Meeting. Motor lalu lalang, sekilas modelnya mirip dengan Honda Kirana, Scoopy, Suzuki Shogun dan bebek-bebek lain yang usianya lebih tua dibandingkan penguasa jalanan Jakarta saat ini.

The capital of Indochina

Bersama Long Heng, kawan baru dari Kamboja. Berkenalan dengan bir lokal.
Bersama Long Heng, kawan baru dari Kamboja. Berkenalan dengan bir lokal.

Salah satu negara penting di semenanjung antara India dan China ini tengah menunjukkan perkembangan dahsyatnya. Pasca penjajahan susul-menyusul dilanjutkan perang saudara berkepanjangan, negeri yang didominasi etnik grup Khmer ini mencoba bangkit. Tentu pemulihan ekonomi, disertai usaha menstabilkan politik agar tak terjadi gejolak besar seperti kudeta pada 1997 lalu, melibatkan bantuan asing. Sebagaimana Myanmar yang mulai memasuki alam demokratis, lembaga internasional maupun donor asing mengarahkan pandangannya ke Kamboja, yang kini dipimpin duet Raja Norodom Sihamoni dan Perdana Menteri Hun Sen.

Salah satu bukti kemajuan pembangunan kawasan yang mempromosikan sebagai ‘The Capital of Indochina’ ini adalah berdirinya kasino di mana-mana. Yang paling gede namanya Nagaworld, sebuah hotel bintang lima dilengkapi pusat permainan dan judi terlengkap di Kamboja. “Hanya untuk foreigners, penduduk lokal tak boleh masuk,” kata sahabat baru saya, Long Heng Chhang, jurnalis lokal yang amat sering mengikuti pelatihan dan forum di berbagai negara. Dari tempat kami makan malam, kelap-kelip terlihat dari bangunan mewah itu.

Berpenduduk 14 juta di seluruh negeri, bayangkanlah sebagai separuh populasi Jawa Timur, ibukota Phnom Penh hanya dihuni 2 juta jiwa, maka anggaplah Anda berada di Medan. Kedekatan itu tampak pada hiruk-pikuknya, suasana pedagang pinggir jalan, suasana Night Market –mengingatkan saat Medan masih ada Kesawan- dan tuk-tuk sebagai transportasi efektif ala becak motor. Selain soal lajur lalu-lintas yang berbeda, diferensiasi lain ada pada huruf Khmer sebagai sarana komunikasi utama di sepanjang jalan. Masih untung, sebagian di antaranya mencantumkan “credit title” dalam bahasa Inggris.

Malam pertama  di sini, kami mendapat jamuan makan malam di Khmer Food, sebuah restoran buffet di seberang Danau Ton Lesap. Menunya macam-macam, mulai ikan, ayam, sampai pork. Satu hal khusus yang menemani, ada bir lokal bermerk Angkor. Macam Anker dan Bintang di Indonesia, atau Tiger di wilayah Thailand, Singapura, serta Malaysia.

Akan halnya kebiasaan minum bir ini, Long Heng punya anekdot. Katanya, orang Kamboja kerap berucap, “If you drink but you not get drunk, so you drink for what?”

0 Replies to “Phnom Penh, Selamat Datang di Jakarta Zaman Biyen”

Leave a Reply

Your email address will not be published.