Bermain monopoli, belajar menjadi investor

Ingatkah Anda pada permainan “Monopoli Gaya Baru” era 1980-an? Zaman kita masih duduk di bangku SD atau SMP, mungkin. Dari lembar karton monopoli itulah, saya mengenal nama kota Indonesia seperti Bogor, Bandung, Denpasar, Garut, atau Singaraja.
Juga dari permainan itu, jadi akrab dengan banyak stasiun kereta api, seperti Gambir dan Pasar Senen Jakarta, atau Tawang Semarang. Tentu saja, saat masih bersekolah dasar di Surabaya, saya tak pernah bermimpi bakal menginjakkan kaki beneran di tempat-tempat itu, beberapa belas tahun kemudian.
Pekan lalu, saya membawakan Einzel oleh-oleh permainan monopoli. Dibeli dari ITC Kuningan, harganya Rp 75 ribu. Meski prinsip dan aturan mainnya sama, tentu fitur-fiturnya berbeda dengan “Monopoli Gaya Baru” di masa ayahnya kanak-kanak dulu. Monopoli untuk Einzel ini, kotaknya memakai nama kereta dan alat transportasi lain yang ada di cerita “Thomas and Friends”. Ada nama Bertie, Bill, Harold, Ben, Arthur, Alfie, Caroline dan lain-lain.
Belajar jadi pengusaha properti
Kalau dulu di monopoli Indonesia ada kartu bernama “Dana Umum” dan “Kesempatan”, di sini ada kartu “Chance”, yang bisa berarti kabar baik, atau juga kabar buruk. Kalau ingat di monopoli era lama ada kotak di ujung yang bisa membuat pemainnya “dipenjara” alias tinggal sebentar, kini terminology yang sama diisi “lunch” alias menunggu untuk makan siang. Ya, mungkin hakikatnya biar lebih sopanlah.
Baru beberapa kali “bertanding”, Einzel tampak amat menyukai permainan monopoli ini. Mungkin karena belum bosan juga ya. Positifnya, bisa sekalian belajar hitung-hitungan. Boleh jadi, juga belajar menjadi investor, membelanjakan uang untuk membangun rumah di lokasi strategis, dan mendapat keuntungan dari orang yang mampir di situ.
Manfaat lain, bisa mereguk filsafat kehidupan pada usia dini. Bahwa orang bisa kaya mendadak (bila dadu mengantarnya menuju kotak “Monopoli Loose Change”, di mana pemainnya meraup semua uang yang ada di bank), tapi bisa juga menjadi miskin kalau duitnya habis karena bisnis yang kontraproduktif, atau terlalu banyak membayar denda.
Negatifnya? Saya tak paham bagaimana menjelaskan fenomena anak yang baru merayakan ulang tahun ke-6 tiba-tiba menjadi “cinta akan uang”. Mendapati lembaran-lembaran dollarnya amat banyak, ia berteriak, “Wow.. uang ini adalah kekuasaanku…” atau menagih denda pada ayahnya yang lewat di bangunan miliknya, “Ayo, berikan ke sini uangmu…”
Semua hal ada resikonya. Termasuk belajar mengenalkan uang pada anak kecil. Tapi, bagi saya, toh langkah ini masih lebih baik, daripada belajar menjadikan anak soliter, dengan berjam-jam bermain sendiri menghadapi monitor dalam permainan video game atau play station seri terbaru.
Si Mamas kok ngomongnya bisa secanggih ituu? Uang ini adalah kekuasaanku, berikan ke sini uangmu? haduhh… haha!