Sudah menyaksikan film Soekarno garapan Hanung Bramantyo? Cukup direkomendasikan, meski ada kejanggalan di sana-sini.
Mendarat di Jambi, Jum’at (13/12) sudah disuguhi suspense tingkat tinggi. Pesawat Garuda Boeing 737-800 NG yang membawa saya penerbangan terpagi dari Soekarno Hatta, telat 30 menit, sebelum akhirnya menembus cuaca buruk dan mendarat dengan selamat di landasan Bandara Sultan Thaha. “Pulas sekali tidur Anda, padahal para penumpang sibuk berdoa. Pesawat putar-putar terus. Mau mendarat di Palembang atau Batam, gak jadi,” kata dua pebisnis yang duduk di sampingku. Berada persis samping jendela, saya selalu membiasakan tidur dalam pesawat. Konon, udara dalam kabin pesawat, yang bak berada di kaleng besi, tak terlalu baik untuk pernafasan. Apalagi, terbang pagi membuat malamnya sama sekali tak beristirahat.
Kota yang belum pernah dikunjungi senantiasa menawarkan pengalaman berbeda. Jambi, provinsi di pesisir timur di bagian tengah Sumatera. Dikenal sebagai “rubber city” karena menjadikan karet (dan kelapa sawit) sebagai primadona perekonomian, provinsi ini mencoba menyeruak sebagai salah satu kekuatan di Sumatera. Apalagi, mereka juga punya kekayaan tambang berupa minyak dan gas bumi, serta batubara, yang ada di beberapa kabupaten seperti Kabupaten Muara Bungo dan Muara Jambi.
Sayang, Jambi belum mengoptimalkan potensi yang ada, terutama pariwisata di kota ini, termasuk wisata malam, dalam artian positif, tentu saja. Di tepi Sungai Batanghari, ada pantai yang juga bernama Ancol. Malam hari, area di depan rumah jabatan gubernur ini marak berjajar dengan penjual penganan. “Rencana akan dibangun jembatan penghubung dengan kampung seberang. Kayak di Amerika,” kata Dedi, kawan yang mengantar ke lokasi yang juga dikenal sebagai “Taman Tanggo Rajo”, identik dengan masa-masa sultan turun dari kesultanan menuju Pelabuhan Batanghari. Beda dengan Golden Gate San Fransisco, Jembatan Gantung Angso Duo hanya diperuntukkan bagi pedestrian alias pejalan kaki.
Menonton Soekarno
Malam melambat, jagung, tekwan dan es tebu tandas sudah. Apa lagi yang harus dilakukan? Ah, ternyata tak jauh dari Ancol, terletak mall WTC, satu-satunya sinema 21 yang ada di Jambi. Baru tiga hari “Soekarno: Indonesia Merdeka” diputar secara nasional, inilah saatnya menyaksikan film garapan Hanung Bramantyo, yang didanai Raam Punjabi dan Erick Thohir itu. Harga tiketnya tak kalah dengan bioskop ibukota, Rp 40 ribu untuk hari biasa, Rp 50 ribu untuk weekend/hari libur, dan Rp 35 ribu untuk Paket Hemat tiap Senin.
https://www.youtube.com/watch?v=iyhD1tpTX5c
Film Soekarno dibuka dengan dua hal unik. Pertama, ajakan bagi penonton untuk berdiri, menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya secara full. Berapa banyak yang menuruti himbauan itu? Hehehe… Kedua, adegan saat Ario Bayu (sang pemeran Soekarno) duduk bersilang kaki di atas kursi, lengkap dengan pakaian safari kebesarannya, lalu menyeruput kopi dengan nikmatnya. Pariwara Kopi Kapal Api ini barangkali amat diperlukan, untuk menutup biaya produksi yang kabarnya mencapai Rp 20 miliar.
Menyaksikan 2 jam 17 menit ini, kita tak akan terasa lama. Apalagi konon, durasi film yang lokasi syutingnya di Kaliurang dan beberapa desa di Yogyakarta dan Jawa Tengah itu, awalnya mau dibuat 4 jam. Keseluruhan, alur cerita ini menarik. Membanggakan lah buat kita, bahwa akhirnya ada film yang mengangkat khusus perjalanan hidup pemimpin bangsa, menandingi film macam “Gandhi”, “Lincoln”, atau “JFK”. Juga karena di film ini ada visual proses sebelum naskah Proklamasi dibacakan. Saat Soekarno meminta Hatta saja yang menulis teks Proklamasi, karena menganggap kualitas tata bahasanya lebih keren, saat draft naskah itu berkali-kali dirobek sebelum diketik Sayuti Melik.
Saya merasa janggal saat melihat adegan Soekarno berada di lokasi romusha, melihat langsung para pekerja paksa dibunuh Jepang. Sama anehnya saat Soekarno ada di lokasi juugun ianfu, atau prostitusi untuk memuaskan libido prajurit Jepang. Itu imajinasi Soekarno, atau ia benar ada di sana, membantu memfasilitasi Jepang mendatangkan pelacur?
Seorang kawan, saat berdiskusi melalui percakapan telepon pintar, mengkritisi panjangnya durasi Soekarno saat galau memikirkan hubungannya dengan Fatmawati yang ditentang Inggit Garnasih. Kisah percintaan Soekarno ini malah menjadi bumbu yang terlalu banyak untuk menggambarkan sisi lain Sang Pendiri Bangsa. Ia pun menyorot, adegan Soekarno muda, (diperankan Emir Mahira sang “Garuda di Dadaku”) mencoba mencium Mien, noni Belanda pujaannya di bangku sekolah. “Masak anak umur 12-13 tahun mau ciuman bibir?”
Dimana pun biopic selalu dibumbui fiksi penegas drama kisah sang tokoh. Terlebih jika sudah meninggal. Seperti film Jobs yg kelak akan tayang disini pun telah ditentang sahabatnya sendiri Steve Wozniak dengan kasus yang hampir mirip seperti yang ditentangkan oleh Rachmawati 🙂
Selama esensi kehidupan si tokoh sebagai bapak bangsa tidak berubah, meskinya hal hal permukaan seperti itu dinikmati aja 😀
Jika biopic Soekarno yang dibuat Hanung aja diprotes, bagaimana jadinya jika ada yg membuat Soekarno sebagai pembantai vampir seperti film Lincoln: the vampire hunter yg pernah tayang awal tahun ini?
Pahlawan selamanya tetap pahlawan 😀