Apakah belajar bahasa asing bagi anak usia 6 tahun dinilai terlalu membebani?
Coba ingat-ingat, usia berapa anda kali pertama akrab dengan Bahasa Inggris secara serius? Bukan hanya karena kebetulan mendengar lewat film atau lagu dengan bahasa asing kedua yang paling banyak digunakan di dunia itu –setelah bahasa Mandarin, tapi benar-benar menghapal setiap perbendaharaan kata, belajar mengucapkan salam, dan lain-lain.
Saya terkenang, menjadi intim dengan Bahasa Inggris baru saat kelas 6 SD. Saat itu, Bahasa Inggris belum diajarkan di jenjang sekolah dasar. Seorang perempuan yang berbaik hati, kawan dari orangtua kawan saya, menjadi pahlawan masa kecil, karena memberikan kursus Bahasa Inggris secara gratis. Awalnya, lebih kepada pengenalan nama benda secara sederhana, sampai kami mencoba berani bicara in English.
Kini, ada satu isu yang sedikit membuat heboh dunia pendidikan, yakni bunyi salah satu isi kurikulum 2013, bahwa Bahasa Inggris bukanlah mata ajar wajib bagi anak SD. “Hanya muatan lokal, dan bisa diajarkan di jam pelajaran tambahan,” kata Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud Ramon Mohandas, tamu dialog Kompas Malam (12/11).
Alasannya, anak SD sebaiknya fokus pada pelajaran sekolah dengan orientasi “bersenang-senang”, tidak dibebani pelajaran yang berat-berat. “Selain itu, kompetensi para pengajar Bahasa Inggris di tingkat SD agak diragukan,” kata Itje Chodidjah, pakar pengajaran Bahasa Inggris untuk anak. Menurut Itje, kapasitas para pengajar Bahasa Inggris untuk kelas SD (tentu tidak semua) amat parah. “Banyak yang grammar, structure, spelling atau malah pengucapan sebuah kata keliru,” kata Itje. Menjadi masalah karena anak-anak usia SD pertumbuhan memorinya amat kuat. Sekali orang dewasa berucap sesuatu, ia akan terus mengenang cara pengucapan dan makna kalimat itu.
Benarkah memberatkan?
Einzel, kini 6 tahun dan duduk di kelas 1 SDK Sang Timur Tangerang, kemarin mendapatkan nilai Ujian Akhir Semester Bahasa Inggrisnya bernilai 100 alias excellent. Padahal, saat membolak-balik text book dan work book-nya, saya merasa pelajaran yang didapat Einzel baru saya dapat di level SMP dulu. Mulai dari cara menyebut identitas diri, sampai bagaimana menyebut silsilah keluarga, mengenal father, brother, sister, grandmother, dll. Juga mengingat nama-nama mainan yang tak pernah saya bahami apa Bahasa Inggrisnya: ayunan sebagai swing, jungkat-jungkit disebut she saw, atau panjatan besi diingriskan monkey bars.
So far, saya melihat Einzel menikmati, Meski standar atau level Bahasa Inggrisnya benar-benar meningkat dibandingkan era saya. Bangga melihat dia bisa mengenal Bahasa Inggris sejak dini, setidaknya lebih awal dari era sopir taxi Turnedi belajar berbahasa internasional.
Jadi, bagaimana solusinya? Belajar Bahasa Inggris tanpa membebani anak-anak? “Sebaiknya diajarkan secara fun, misalnya dengan nyanyian,” kata Ramon. Mantan Atase Pendidikan KBRI di Den Haag itu, Ia berkisah, memorinya melekat dengan nyanyian yang diajarkan saat duduk di sekolah dasar. Sambil menuju lift Kompas TV, Ramon pun bersenandung, “Are you sleeping, are you sleeping? Brother John, brother John… Morning bells are ringing., morning bells are ringing… ding dang dong, ding dang dong…”
Kualitas guru bahasa Inggris dimana itu ya dijadikan sample.. 🙂
Bener banget tuh mas.. Waktu itu aja keponakan aku bawa tugas dari gurunya… Bahkan untuk membuat perintah tugasnya (in english) itu grammarnya salah lhooo… Aku komplain aja sama ibunya keponakan ku itu, biar disampaikan ke gurunya.. PAdahal itu sekolah bagus lhooo… Sekolah alam di daerah tangsel…
Dan anakku paling seneng pelajaran bahasa inggris… 😉 Alhamdulillah nilainya juga bagus..
Untungnya disekolahnya tetep diajarin bahasa inggris..
waah slogan “English is your passport to the global world” blm ‘bisa’ tak sampaikan ke Rere sampe lulus SD ya Jo..hehehe
Sekadar berbagi.
Bahasa Inggris bukan bahasa ibu kita. Orang Indonesia sulit untuk berbahasa Inggris sebaik dan sefasih orang Inggris, Itu wajar. Jika ada yang bisa melakukannya, itu luar biasa.
Menurut saya, tidak salah jika memang tidak diwajibkan di usia dini. Lebih baik mengenal dan mecintai bahasa kita lebih dahulu sebelum mendalami bahasa asing, apapun itu termasuk bahasa inggris atau arab. Bahasa itu pesan, jika lawan bicara mengerti pesan kita, sudah cukup syarat terjadinya komunikasi.
Saya teringat cerita Bu Felicia, guru dan dosen bahasa Indonesia.
Sekolah global yang sekarang menjamur terlalu mengejar prestis, tanpa banyak mengakomodir kepentingan peserta didik. Sekolah global yang membranding dirinya dengan bahasa asing, sering memasang tarif mahal. Lalu, apakah sebenarnya yang kita (para orangtua) cari…?
Bu Felicia juga sering menghadiri konferensi bahasa internasional, tentu dengan modal bahasa Indonesia. Beliau mengenal bahasa Inggris pas san, toh tidak menghalanginya menjadi orang yang berpikir dan berkarya secara global.
Hanya berbagi saja, kebetulan saya tertarik dengan tema pembicaraan ini.
Andy Riza, sarjana Sastra Inggris, mecintai Bahasa Indonesia.
081331350640 @andyriza