Konon berasal dari kata “Di” yang berarti tempat atau gunung dan “Hyang” bermakna dewa, Dieng berarti daerah pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayam.Tak salah rasanya, kawasan di sisi Gunung Sumbing dan Sindoro ini mendapat julukan “The mystique of central java“

Di antara berbagai lokasi yang kami kunjungi dalam liburan keluarga selama dua pekan di Natal-Tahun Baru kemarin, Dieng menjadi venue nan mengesankan. Hanya menginap semalam, tapi memori indahnya amat membekas, terutama bagi anak-anak kami, Einzel (6 tahun) dan Kirana (2).
Sesuai rencana, kami berempat menuju Dieng dengan mobil pinjaman dari Yogyakarta. Berangkat selepas sarapan, perjalanan tak buru-buru, melintasi Magelang, Secang, Temanggung, dan Wonosobo. Dari pusat kota, alun-alun Wonosobo, petunjuk menuju Pegunungan Dieng sudah terlihat, sekitar 26 kilometer menuju puncak. Menggunakan Avanza G, lekak-lekuk menuju Dieng Plateau tak terlalu menjadi masalah, meski sesekali mesti waspada menghadapi kendaraan lain yang berlawanan arah. Kami naik, dan mereka –kadang mobil atau bus wisata- beranjak turun ke arah Wonosobo.
Melintasi pemandian air hangat Kalianget di kilometer 3, juga melewati PLTA Garung, udara dingin semakin terasa. Baiklah, dalam kondisi begini, mobil menggunakan penyejuk udara alami dari hawa pegunungan. Menjelang pukul 5 sore, kamipun sampai di Dieng. Tanpa reservasi terlebih dahulu, pekerjaan pertama adalah mencari akomodasi. Syukurlah, kami mendapatkan homestay dengan harga bersahabat, Rp 200 ribu per kamar, termasuk kamar mandi berfasilitas air panas.
Mie ongklok

Keluar dari penginapan, waktu sudah menunjukkan pukul 6 petang. Saat itulah, terasa dinginnya kawasan ini. Maklum, suhu udara di malam hari bisa mencapai 10 derajat Celcius. Dengan ketinggian rata-rata 2.000 meter di atas permukaan laut, kabarnya Dieng merupakan dataran tertinggi kedua di dunia setelah Nepal. Karena belum terbiasa dengan hawa dingin, Einzel, Kira, dan Celi pun memperlengkapi diri dengan kaos kaki dan sarung tangan. Kebetulan, kami berempat telah siap dengan jaket bertudung kepala.
Hawa dingin, perjalanan jauh, saatnya makan. Ada yang memilih bakso segede kepalan tangan orang dewasa, sementara saya penasaran mencoba mie ongklok, makanan khas Wonosobo. Mienya sih biasa, tapi disantap bareng bumbu bawang putih, ebi, dan merica yang ditumis halus. Beruntung, di Dieng, harga makanan tak digenjot mahal. Seporsi mie ongklok senilai Rp 6 ribu. “Kami takut, kalau harganya kemahalan, nanti para wisatawan pada kapok makan di sini,” kata Bu Ira, pemilik warung mie ongklok, yang mengaku berasal dari Kertek, Wonosobo.
Paginya, banyak pilihan lokasi wisata menanti. Kami hanya punya waktu memilih dua, Telaga Warna-Pengilon dan Komplek Candi Arjuna. Di area Telaga Warna, yang tiket masuknya hanya Rp 4 ribu, selain terdapat dua telaga besar, juga sarat nuansa mistis dan reflektif, dengan hadirnya beberapa goa tempat pertapaan.
Sebenarnya, di pegunungan yang dimiliki dua kabupaten, Wonosobo dan Banjarnegara ini, masih banyak opsi plesir lain, seperti Kawah Sikidang, Museum Kaliasa, Sumur Jalatunda, serta Dieng Volcanic Teather. Setidaknya, sebelum suatu saat nanti anak-anak akan menjelajah kawasan dingin di belahan bumi lain, mereka telah menginjakkan kaki di Dieng, Plato kebanggaan Indonesia…