Para mahasiswa mencoba memahami makna semboyan ‘Jas Merah’: jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.
Istilah “Jas Merah” atau ‘Jangan Sekali-Kali Meninggalkan Sejarah’ diambil dari pidato Presiden Soekarno, yang juga merupakan pidato terakhir Bung Karno pada HUT ke-21 Republik Indonesia pada 17 Agustus 1966.
Mencoba memaknai semboyan itu, 13 mahasiswa Editing dan Pasca Produksi TV Universitas Multimedia Nusantara (UMN) merekonstruksi ‘Pertempuran 5 Hari Semarang’. Pertempuran Semarang adalah bagian sejarah Indonesia yang terlupakan, tak banyak orang tahu, setidaknya dibandingkan kisah Bandung Lautan Api, atau perobekan bendera Belanda serta Perang 10 November di Surabaya.
Pertempuran 5 Hari di Semarang yang berlangsung 15-20 Oktober 1945 bergolak antara rakyat Indonesia di Semarang melawan Jepang. Pertempuran berawal dari kemarahan para pemuda saat memindahkan tawanan Jepang dari Penjara Cepiring ke Bulu, namun di tengah jalan mereka kabur dan bergabung dengan pasukan Kidobutai dibawah pimpinan Jendral Nakamura. Kidobutai terkenal sebagai pasukan yang paling berani, dan untuk maksud mencari perlindungan mereka bergabung bersama pasukan Kidobutai di Jatingaleh. Perlawanan semakin sengit setelah Kepala RS Pusura Dokter Kariadi yang mencoba memastikan apakah sumber air minum Reservoir Siranda diracun Jepang, justru ditembak mati tentara Jepang di Jalan Pandanaran.
Mereka yang berkelana ke Semarang untuk mewujudkan tayangan ini: Rima Wahyuningrum, Eldo Rafael, Gisela Niken, Intan Aprilia, Deonisia Dewi, Fransiska Melinda, David Jonathan, Kevin Sanly, Nicko Purnomo, Patric Rio, Joshua Gunadhi, Rigel Harianto, dan Evans Edgar.
Saksi sejarah

Tayangan ini mengajak generasi masa kini mengenal saksi sejarah peristiwa Pertempuran 5 Hari Semarang. Misalnya bertemu Soediono, seorang veteran perang berusia 90 tahun. Juga bersua Gandung Raharjo, sejarawan yang sehari-hari menjadi pemandu wisata di Museum Mandala Bhakti, dulunya dibangun Belanda sebagai Pengadilan Tinggi untuk Masyarakat Eropa di Semarang serta digunakan Jepang sebagai markas Kempetai. Tak ketinggalan dokter Lukas Harsoyo, salah seorang saksi sejarah pertempuran.
Ilustrasi atau reka adegan, serta perjalanan menyusur jejak-jejak pertempuran menjadi menarik. Selain ke Museum Mandala Bhakti, juga ke RSUD Dr Karyadi, Reservoir Siranda, Gereja Katedral, dan tentu Tugu Muda yang diresmikan Bung Karno untuk mengenang pertempuran dahsyat itu. “Tugu Muda ini memiliki banyak makna, terutama nyala di atasnya menunjukkan bara api pejuang tanpa pamrih. Tegaknya lilin melambangkan semangat pantang merah, sementara segi lima di bawah menunjukkan Pancasila dan pertempuran 5 hari itu,” kata Gandung.
Kalaupun ada kekurangan dari paket liputan ini, selain gambarnya yang masih tampak goyang di beberapa adegan, juga saat beberapa kali penampilan beberapa menit cerita narasumber membawa rasa monoton. Terutama kala tak disertai visual memadai.
Program ini diakhiri dengan semacam closing statement menarik dari Soediono, “Merdeka sudah, tapi yang dicita-citakan pendahulu kita belum selesai. Makmurnya belum.” Latar waktu liputan saat pro-kontra kenaikan harga elpiji membuat para veteran jadi prihatin, “Kondisi negara ini benar-benar bak kebo nusu gudel. Orangtua menyusui kepada generasi muda, tapi yang disusu banyak korupsi.”