Doyok Kangen Kebangkitan Film

Membayangkan film Indonesia kembali menjadi tuan rumah di negeri sendiri layaknya era 1980-an.

Ini juga tugas akhir mata kuliah Editing dan Pascaproduksi Televisi Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Tema yang diambil cukup berani, “Golden Age of Indonesian Cinema”. Disebut berani, karena mahasiswa yang rata-rata kelahiran tahun 1990-an ini tentu belum menikmati masa keemasan film Indonesia itu. Tapi, mereka mencoba membuka album sejarah ke belakang, mengurai kepingan kejayaan yang tersisa.

Adalah Doyok alias Sudarmadji, yang dipilih sebagai “saksi hidup” menceritakan era sukacita sinema Indonesia. Pemain film komedi yang dikenal karena duetnya dengan Kadir ini, ditemui mahasiswa di sela-sela aktivitasnya bermain bulutangkis, di lapangan Asia-Afrika, Senayan, konon bersama para polisi, yang pernah menangkapnya saat terjerumus ke dunia gelap obat terlarang.

Semua Karena Ginah (1985). Melejitkan Nama Doyok.
Semua Karena Ginah (1985). Melejitkan Nama Doyok.

Fadhil Anindito, Sintia Astarina, Desy Harini, Lauren Marshall, Rheta Dwi, Desi Permatasari, Ignasia Findha, Wenny Lovenza, Dita Anugrah, Hana Krisviana, dan Clara Alverina mengurai perjalanan film Indonesia, khususnya di salah satu bab terindahnya.

“Film pertama saya, ‘Semua Karena Ginah’. Tampil bersama para pemain berkelas seperti Zoraya Perucha dan El Manik, tapi, yang diingat orang justru peran Doyok sebagai pembantu,” kenangnya. Pada film yang dirilis 1985 itulah nama Doyok melejit, seirama dengan bangkitnya produksi film Indonesia.

Kebijakan Menteri Penerangan pada 1967 yang membuka keran longgarnya sensor film, memberi peran penting bagi tampilnya film-film lokal. Saat itu, sutradara Wim Umboh memproduksi film berwarna pertama di Indonesia, berjudul “Sembilan”. Apalagi, pemerintah pun mendorong dibuatnya film propaganda, macam “Pengkhianatan G 30 S/PKI” dan “Operasi X”. Maka, jumlah produksi film Indonesia yang pada akhir 1960-an hanya 9 judul, bisa menjadi 367 film pada 1977.

“Bicara Golden Age selalu mengacu jumlah produksi film suatu per tahun. Seperti Hollywood yang masa keemasannya terjadi pada akhir 1920-an hingga 1946. Dan di Indonesia, masa keemasan itu tak lagi bisa diulang,” kata Agus Mediarta, dosen Sejarah Film UMN.

Nur Hartono Subahri, Kepala Bagian Perawatan Sinematek menyatakan, jumlah produksi film Indonesia yang bisa mencapai 100 judul per tahun, sangat terbantu policy penguasa. “Saat itu sering didengungkan bahwa film Indonesia harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” katanya. Pendapat senada disampaikan Suyoto Achmadi, Ketua Komunitas Pecinta Film Indonesia Jadul (KPFIJ). “Film-film kita bahkan diputar di Malaysia dan Singapura,” kata Suyoto.

Penggarapan liputan tentang masa keemasan film ini bagus, tapi harusnya bisa digarap lebih maksimal. Lebih menarik seandainya paket ini diantarkan oleh seorang host, yang  berdiri di antara “saksi bisu”, misalnya menelusup ke bagian dalam gedung bioskop Rivoli, atau Mulia Agung Theater di kawasan Pasar Senen.

Satu-satunya daya tarik narasumber di liputan ini hanyalah Doyok. Seharusnya, liputan ini diperkaya dengan cuplikan kejadian-kejadian lucu dari film Doyok atau Warkop yang benar-benar bikin ketawa penonton. Teringat jelas saat itu, rilis film Warkop DKI yang selalu beredar saat Libur Lebaran dan Natal/Tahun Baru, menjadi ritual mengasyikkan yang ditunggu masyarakat.

Kini, perlahan tapi pasti, dunia film Indonesia mulai menemukan kebangkitannya. Setelahh dihajar era televisi swasta di tahun 1990-an dan kepemilikan VCD Player, bioskop 21 dan XXI menemukan peran tersendiri di kota-kota besar. Pertanyaannya, sudahkah kuantitas produksi film benar-benar diimbangi kualitasnya?

Leave a Reply

Your email address will not be published.