Jurnalis, Pejuang Buruh yang Nasibnya Tak Lebih Baik dari Buruh

Nasib jurnalis Indonesia masih amat memprihatinkan. Setidaknya itulah yang terpapar dalam Diskusi Publik ‘Keselamatan Kerja Jurnalis dan Kebebasan Pers, Tantangan dari dalam Lungkugan Kerja’.

Kisah pilu Andreas Wicaksono, mantan kontributor televisi yang keluar dari pekerjaannya sebagai jurnalis ini menjadi referensi, betapa tak terlindunginya pekerjaan ini. Ia berstatus stringer, alias pembantu koresponden sebuah stasiun televisi. Meliput unjuk rasa dan digebuki petugas keamanan hingga terluka dan alat kerjanya rusak. Perusahaan sempat menjanjikan kompensasi. Alih-alih ditepati, yang didapatinya hanya sepaket roti.

Dalam diskusi yang digelar Divisi Serikat Pekerja Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia ini, anggota Dewan Pers Nezar Patria menyatakan, begitu banyak produk jurnalistik yang tidak taat kode etik, setelah dirunut ternyata berasal dari perusahaan yang tak layak dan tak menerapkan standar perusahaan pers. “Sulit membayangkan karya jurnalistik yang baik lahir dari tempat kerja yang buruk,” kata Nezar.

Mantan Ketua AJI Indonesia ini menjelaskan, standar minimum untuk sebuah perusahaan pers setidaknya memiliki minimal dana Rp 50 juta sebagai modal awal menjalankan usahanya. “Tentu itu bukan hal ideal sebenarnya. Sangat jauh dari cukup menjadi sebuah perusahaan yang baik. Tapi kami harus memenuhi hak publik untuk membuat media,” ungkapnya.

Syarat lain, media yang memenuhi standar perusahaan pers yakni media itu harus terbit teratuir. “Kalau 6 bulan berturut-turut tidak terbit, akan dianggap tidak layak sebagai sebuah perusahaan pers,” kata Nezar. Ia melanjutkan, perusahaan pers yang baik juga harus memberikan jaminan kesehatan serta pelindungan hukum jika jurnalisnya tersangkut masalah hukum terkait pekerjaan, misalnya gugatan atas berita atau mengalami kasus kekerasan.

Pembicara lain, Adi Prinantyo dari Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) menegaskan pentingnya syarat independensi kerja jurnalis. “Newsroom yang indepen berarti bebas dari pengaruh pemerintah, pemodal, dan masyarakat,” ungkapnya. Selain itu, jurnalis sebagai buruh sekaligus profesi juga harus dilengkapi dengan kesejahteraan memadai serta mendapatkan pendidikan dan pelatihan jurnalistik terkait bidangnya.

Nasib kontri

Diskusi membahas nasib jurnalis. Jangan sampai jadi ironi.
Diskusi membahas nasib jurnalis. Jangan sampai jadi ironi.

Di antara anggota AJI, mayoritas merupakan kontributor atau koresponden media yang tersebar di seluruh Indonesia. Mereka semua tak memiliki honor basis, dan mendapat perlakukan berbeda dengan karyawan tetap, yang secara kesejahteraan terpenuhi hak-haknya. “THR dan asuransi, misalnya. Tak banyak kontributor mendapatkan kemewahan itu,” kata Ketua Federasi Serikat Pekeja Media Independen (FSPMI) Abdul Manan. Ia menegaskan, tahun lalu masih ada gaji wartawan di Jakarta di bawah Rp 2 juta per bulan. “Padahal upah buruh di Jakarta sudah mencapai Rp 2,2 juta tiap bulannya,” katanya.

Paparan-paparan tentang buruknya kondisi jurnalis mengagetkan Sri Astuti, pengawas tenaga kerja dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. “Miris juga ya, Indonesia yang sudah mengadopsi konvensi ILO tapi untuk rekan-rekan jurnalis kondisinya sangat memprihatinkan,” katanya.

Sri Astuti menyarankan, agar para jurnalis mengajukan rumusan khusus ke Menteri Tenaga Kerja untuk pengaturan tersendiri terkait profesi ini. “Termasuk di antaranya, masalah jam kerja, misalnya,” kata Sri.

Adi Prinantyo menimpali, jangan sampai ironi terjadi. “Jurnalis getol memperjuangkan hak-hak kaum buruh. Tapi hak-hak kita sendiri terbengkalai,” katanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.