Kekuatan massa adalah keunggulan besar sebuah liputan live. Menjadi masalah besar, mengapa Rahmi Febriani tak mengoptimalkan kekuatan yang dimilikinya ini…
Rahmi Febriani, ia biasa disapa Ami, hadir di sebuah even besar: kampanye pemilu yang dihelat Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Lokasinya pun mentereng: Istana Olahraga alias Istora Senayan. Sayang, Ami tak memaksimalkan kekuatan massa yang ada di sekitar kampanye.
Mengambil side bar, sisi lain, banyaknya bus yang disewa para pendukung kampanye menjadi pilihan yang juga asyik. Apalagi, Ami menceritakan bagaimana pernyataan para sopir yang meraup rezeki kampanye. Namun, dalam jurnalisme televisi, fakta seperti ini tak sebaiknya disampaikan dalam kalimat tak langsung. Berbeda nilainya kalau ada wawancara langsung dengan abang-abang pengemudi metro-mini atau kopaja yang dicarter pengurus partai itu.
Posisinya dari crowd alias keramaian pendukung PKPI pun amat jauh. Di sinilah eksplorasi keramaian itu kurang terjual. Padahal Ami sudah membuka khusus dengan ‘bump’ Breaking News. Seharusnya, ia bisa mendekat ke lokasi, sehingga atmosfer ’crowd’ lebih terlihat. Nampak pula poster, bendera, spanduk partai, atau bus yang dijejali simpatisan PKPI yang baru turun dan bergegas menuju lokasi kampanye.
Terkendala teknis
Pertanyaan itu terjawab saat Ami menuturkannya dalam kronologi liputan. Ami berkisah, suasana kampanye partai tidak begitu meriah dan ia kurang dapat ‘feel’ untuk meliput kampanye yang dimulai pukul dua siang. “Saya berusaha mencari angel yang berbeda dengan teman-teman saya yang lain. Akhirnya tercetuslah mengambil angel keuntungan yang didapat para supir bus umum yang disewa oleh para partisipan kampanye,” kisahnya.
Awalnya, Ami mewawancarai beberapa supir bus dengan jurusan yang berbeda. Mayoritas mengatakan bahwa mereka menyewakan angkutan umum tersebut dengan harga Rp 500-700an ribu per hari.
Lalu, partisipan tampak keluar dari dalam Istora Senayan menuju ke halaman parkir untuk pulang. “Setahu saya kampanye baru saja dimulai, kenapa cepat sekali? Bus-bus banyak yang sudah melaju keluar parkiran dan saya mulai gelisah karena merekalah yang menjadi objek berita saya,” kenangnya.
Ami bercerita, teman-teman nya berada di dalam IStora karena meliput suasana kampanye. “Bagaimana nasib saya? Obyek saya satu-persatu pergi berhamburan. Saat itu saya bimbang dan berusaha mencari teman saya di dalam. Saya sulit menemukan teman-teman saya. Dihubungi pun tidak ada jawaban,” kisahnya.
Ia pun memutuskan untuk duduk di tempat dan berharap mereka datang secepatnya untuk mengampiri. “Di benak saya masih bertanya-tanya apakah kampanye sudah selesai? Dengar-dengar ada kericuhan di dalam, tapi saya tak tahu apa-apa karena saya sejak awal berada di luar gedung,” pikirnya.
Akhirnya, Ami dihampiri seorang teman, dan dengan cepat saya mengambil posisi stand-up. “Utungnya masih ada objek berita saya yang menjadi background liputan saya,” kenangnya.
Keputusasaan dirasakan ketika melaksanakan beberapa take. Ami mengakui, “Saya merasa tergesa-gesa dan panik karena lapangan parkir memang sudah terbilang sepi dibandingkan ketika saya memutuskan untuk mengambil angel berita bus tersebut. Ucapan saya berantakan dan terbata-bata, sangat tidak layak dikatakan reporter.”
Sebuah kerja keras yang harus dihargai. Tapi, pelajaran penting dari ksiah ini: jangan sampai ketinggalan momen!
One Reply to “Pelajaran Penting Live Report: Jangan Ketinggalan Momen!”