Ini film tentang sejarah. Sejarah tentang lahirnya pemimpin dari hasil pemilu demokratis. Pemilu dengan antusiasme tertinggi sepanjang sejarah Indonesia, setelah 1955. Sejarah yang menginjak tanah.
Mungkin banyak orang bakal kecele menganggap ini film tentang Joko Widodo. Apalagi kalau terjebak melihat trailer atau judulnya. Apalagi, film ini dibuka dengan adegan yang sangat humanis.
[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=WQgQKnW3n0E]
Suatu hari di 2006, sebagai Walikota Solo, pada periode pertama kepemimpinannya, Jokowi mengumpulkan stafnya untuk melakukan semacam kerja bakti atau mendirikan sebuah bangunan. Jokowi bertitah, “Kita buat Solo semakin bersih, semakin hijau…” Tak hanya memerintah, Jokowi –masih dengan safari dinasnya- langsung turun, ikut memasang bata demi bata bercampur semen.
Gambar menyentuh lain, saat Jokowi sibuk diwawancara wartawan, ia berseru kepada asistennya agar segera dicarikan sisir untuk membetulkan rambutnya. Dalam Bahasa Jawa ia berseru, “Sisirnya mana? Ini aslinya sudah jelek, kalau tidak pakai sisir nanti makin jelek.” Tak lupa, sekilas ada mobil Esemka yang dipopulerkannya menjelang pencalonan Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 2012.
Tapi, selebihnya, ini bukanlah biografi tentang Jokowi. Juga bukan tentang bagaimana kisah sukses tukang kayu itu menjadi presiden terpilih Indonesia ketujuh. Sama seperti diungkapkan Dandhy Dwi Laksono, CEO Watchdoc yang menjadi sutradara film berdurasi lebih dari 100 menit ini. “Film ini bukan tentang selebrasi kemenangan salah seorang calon presiden,” ungkap Dandhy dalam pemutaran terbatas untuk media di Teater Utan Kayu.
‘Yang Ketu7uh’ berkisah tentang potret masyarakat kebanyakan. Yang siapapun presidennya, tetap saja menjadi orang miskin. Personalisasinya ada pada buruh bangunan dan tukang ojek di Jakarta, petani penggarap di Indramayu, serta buruh cuci di Tangerang. Uniknya –secara tak sengaja- sebagian dari mereka memilih Prabowo-Hatta pada Pilpres 9 Juli lalu. Ada seorang yang tak mau buka suara. “O, kalau soal nyoblos itu rahasia, gak boleh dikasih tahu ke orang lain,” kata si buruh tani dari pantai utara Jawa Barat.
Negara yang susah, rakyat yang menderita
[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=CRpxt1bAv3g&list=UU5-BW9sDVSSyF52mMz95S9g]
Dimanajeri oleh Katadata dan beberapa sponsor pendukung, film ini direncanakan diputar untuk umum pada Sabtu, 16 Agustus 2014 pukul 9 malam di Taman Fatahillah, kawasan Kota Tua Jakarta. Seolah menjadi ‘barikan’ -kenduri ala kampung- merayakan HUT ke-69 sebuah negara bernama Indonesia.
Digarap oleh 19 orang videographer, ‘Yang Ketu7uh’ memotret Jakarta dari sisi kelam. Ada kampung Tanah Tinggi di Jakarta Pusat yang amat sesak manusia –konon menjadi permukiman dengan kepadatan, densely, tertinggi se-Asia Tenggara. “Saya melewatkan sehari semalam demi memotret betapa sumpeknya kampung itu. Bagaimana ibu dan anak mandi di tempat nan amat sempit,” kata Hellena Yoranita Souisa, asisten sutradara, peraih Beasiswa Chevening dari Cardiff University untuk bidang Journalism, Media and Communications.
Beberapa plot bisa jadi terasa membosankan. Terutama saat dianggap terlalu lama mengeksplor kondisi kaum jelata tadi. Lalu, mereka yang berharap bahwa ‘Yang Ketu7uh’ adalah film ‘dokumenter sejarah’, kembali ‘terbangun’ saat keluar hype-nya. Melihat rekaman debat capres, konser ‘Salam Dua Jari’ di Gelora Bung Karno, atau sorak-sorai kemenangan, dari ketuk palu KPU sampai toast wine di kafe kelas menengah ngehe ibukota.
Ini memang bukan film biografi. Ini pun bukan reka ulang Jokowi ala KK Dheeraj. Ini film tentang harapan orang kecil. Bahwa siapapun presidennya, siapapun pemimpin terpilih, seharusnya tak akan pernah melupakan rakyatnya, sekalipun bukan rakyat yang memilihnya. Seperti pesan sang petani papa, “Tidak selamanya jadi pemerintah, tidak selamanya jadi DPR, yang lama itu jadi rakyat…”