Kepergian Mas Vik meninggalkan beberapa nilai utama sebagai legacy. Salah satu poin pentingnya: keteladanan, bahwa wartawan sejati adalah mereka yang ada di lapangan, bukan di belakang meja.
Kami semua terkejut saat pagi tadi kabar meninggalnya Taufik Hidayat Mihardja memenuhi perangkat telekomunikasi. Kami biasa memanggil mas Vik, sesuai inisial namanya sebagai jurnalis di Kompas. Dari situ saja sudah tampak keunikannya. Tak banyak wartawan Kompas memiliki singkatan nama tiga huruf, yang berbeda dengan ejaan asli namanya. O ya, kultur Kompas memang membiasakan menyapa kolega pria dengan ‘Mas’. Hanya ‘Mas’, jarang yang pakai ‘Bang’. Dan yang pasti, bukan ‘Pak’. Karena hanya ada satu ‘Pak’ di Kompas.
Belakangan, ketika KompasTV berdiri –dan saya bersyukur mencecap masa-masa awal sejak unit usaha baru ini ada bahkan sebelum ‘on air’- dibudayakan panggilan baru. Layaknya Pramuka, kami membiasakan menyapa kawan-kawan lain dengan ‘Kak’, tak peduli siapa lebih tua dan lebih muda. Tapi, sebagai senior dari induk usaha, Pemimpin Redaksi KompasTV itu tetap disapa sebagai ‘Mas Vik’.
Di ruang rapat KompasTV, pria asal Jawa Barat kelahiran 9 Maret 1962 ini kerap bercerita tentang saat-saat mudanya menjadi jurnalis. Besar sebagai reporter kantor berita Antara, Mas Vik mengisahkan betapa ada keinginan kuat dalam dirinya untuk bisa menyandang status ‘wartawan Kompas’. Maka, dalam saat-saat menjadi wartawan Antara di Istana Kepresidenan, Mas Vik berusaha sekuat tenaga menulis berita yang bagus dan bisa menjadi headline. “Saya berharap tulisan saya di Antara ‘diambil’ oleh Kompas, dan orang Kompas pun makin kenal dengan nama saya,” kisahnya.
Begitulah, hingga setidaknya selama hampir seperempat abad terakhir, Mas Vik mewujudkan ‘ambisi’ itu: memiliki name tag sebagai jurnalis di Grup Kompas Gramedia, mulai dari harian Kompas, Kompas.com, dan Kompas TV. Tak hanya wartawan, berbagai posisi ‘elit’ didudukinya. Di harian Kompas, ia pernah menjadi editor untuk halaman berita politik, hukum, dan HAM pada 1998, lalu menjabat wakil redaktur pelaksana sejak 2000 dan redaktur pelaksana pada 2007. Pada 2007 juga, sarjana Sastra Inggris dari YAPARI Tourism Academy Bandung, Jawa Barat ini mendapat amanah menjadi Direktur Kompas Cyber Media, pengelola laman Kompas.com sekaligus Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas pada 2008-2012. Saat Kompas TV lahir pada 2011, Mas Vik didapuk menjadi Pemimpin Redaksi Kompas TV hingga pertengahan 2014, untuk berkonsentrasi sepenuhnya menjadi Pemimpin Redaksi Kompas.com.
Wartawan lapangan
Penting untuk berada di lapangan dan percaya pada sumber pertama. Pesan itu disampaikan Mas Vik dengan contoh nyata merujuk Kerusuhan Mei 1998. Beredar kabar simpang-siur berapa jumlah korban tewas pada insiden penembakan oleh tentara pada mahasiswa Universitas Trisakti. “Saya memutuskan datang langsung ke kamar jenazah rumah sakit, dan membuka sendiri satu per satu selimut yang menutup mayat-mayat korban,” kenangnya. Maka, Kompas keesokan harinya menulis berita dengan jumlah korban dengan tingkat akurasi yang bisa diandalkan. Bukan dari sumber sekunder.
Satu kisah lain yang sering diulangnya saat berbicara di hadapan kami, para wartawan muda. Di era awal lahirnya reformasi, ia mendapat sebuah tugas mendadak dari kantor: meliput Amien Rais –tokoh yang paling naik daun saat itu. “Padahal saya sedang bersama isteri saya, jalan-jalan di mall. Akhirnya, saya ajaklah isteri saya meliput acaranya Amien Rais,” urainya.
Sebagai wartawan yang malang-melintang di banyak tempat di dunia, wajar saja seseorang bersikap sedikit ‘narsis’. Tapi, narsisnya Mas Vik benar-benar berkelas. Saat buronan KPK Muhammad Nazarudin dikabarkan tertangkap di Cartagena, Columbia, orang mulai bertanya-tanya, di mana lokasi daerah itu. Saat itulah, dalam grup percakapan telepon pintar yang saya ikuti, tiba-tiba profil picture-nya berubah. Mas Vik memasang fotonya bersantai di sebuah pantai, dengan keterangan singkat, ‘Cartagena 2005’. Waaaahhhhhh…
Seorang yang ‘naik level’, dari banyak blusukan di lapangan hingga mendapat kepercayaan sebagai penyunting tulisan dan pemegang kebijakan, seharusnya memiliki nilai tambah dari pengalaman berharganya nan bertahun-tahun. Salah satu nilai tambah itu tentulah networking alias jaringan pertemanan dengan narasumber, orang-orang penting yang dikenalnya sejak mereka ‘belum menjadi apa-apa’.
Suatu saat, rapat perencanaan membahas apa yang menjadi topik dialog Kompas Petang keesokan harinya. Buntu. Hingga kemudian tercetuslah sebuah nama yang dianggap pantas untuk berbicara mewakili topik yang telah disepakati. Tanpa banyak bicara, Mas Vik mengoperasikan selulernya, menghubungi sang tokoh, aktivis jalanan yang kini menjadi wakil rakyat di Senayan. Menyapa dan menyebut nama narasumber itu, Mas Vik berucap singkat, “Besok bicara ya di Kompas TV.” Tidak lama. Telepon ditutup. Masalah selesai.
Tak salah, dalam sambutan di rumah duka, CEO Kompas Gramedia, Agung Adi Prasetyo menegaskan, jasad boleh pergi, tetapi legacy tak akan pernah hilang. Menurut Agung, Taufik telah meninggalkan legacy yang tak akan pernah lekang. “Beliau adalah satu-satunya pemimpin yang lengkap di semua platform, pernah di cetak, televisi, dan online,” kata Agung. Agung menambahkan, dengan semua perjalanan itu, Taufik juga bukan tipe pemimpin ‘asal perintah’.
Juru bicara KPK yang mantan redaktur pelaksana Majalah Tempo Johan Budi Sapto Prabowo siang itu mengirim pesan serentak melalui telepon pintar. Menurut Jobud, dunia jurnalistik kehilangan salah satu putra terbaiknya saat ini. “Mas Taufik seorang jurnalis yang tangguh, teliti, dan punya keteguhan prinsip yang patut dicontoh jurnalis muda,” tulisnya.
Sebagian –atau tepatnya sebagian besar- rambut Mas Vik telah memutih. Tapi, tetap saja sosok trendy nampak. Karena itu, beberapa dari kami kerap meledek Direktur Content PT Kompas Cyber Media ini dan memanggilnya George Clooney, karena menganggap ada kemiripan fisik dengan aktor Amrik peraih tiga penghargaan Golden Globe dan dua Academy Awards.
“Bekerjalah dengan keras. Dapatkan satu ‘moment of truth’ dalam kehidupan kalian,” begitu yang kerap didengungkan penggemar berat klub Liga Inggris Chelsea ini. Selasa (26/8) malam itu, kicauan terakhir dari @taufikhmihardja pun terkait salah seorang legenda Chelsea: “Lampard Gantung Sepatu dari Timnas Inggris – http://Kompas.com Bola http://kom.ps/AFmDUu”
Lampard boleh pensiun dari timnas, Mas Vik boleh pula pensiun dari kehidupan di bumi ini. Tapi, warisanmu akan tetap abadi: belajarlah menjadi wartawan yang akurat. Datang langsung ke lapangan.
Beristirahatlah dalam damai, Mas Vik!