Bagaimana membuat berita kita tidak mengawang-awang, akan mendekatkan diri kepada audiens, baik itu pemirsa, pendengar, atau pembaca berita kita.
Ada guyonan lucu. Seorang pemain sepakbola terkenal dikabarkan menolak perpanjangan kontrak sebuah klub Liga Inggris papan atas. Apa alasannya? “Saya tak mau jadi karyawan kontrak terus, ingin jadi karyawan tetap!”
[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=uLqorrvCfJk]
Seperti itulah angle yang coba diambil Eunike Ione Saptanti dalam liputan May Day 2014 kali ini. Di luar kata-katanya yang mengalir dalam kalimat jernih nan tak putus, Iona dengan smart mengambil topik perjuangan buruh: hapuskan outsourcing, tolak upah murah, dan tolak pemberangusan serikat pekerja di perusahaan.
Tentu saja yang paling mengesankan, saat Iona bertanya kepada Iwan Kusmawan, narasumbernya yang menjadi Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional. Saat Iwan berceloteh tentang poin-poin tuntutan buruh, Iona bertanya konkret tentang apa yang dimaksud “ipah murah dan upah buruh hanya sebatas minimum.”
Menit 1 detik 50, Iona mendaratkan pertanyaan konkret, “Oke, baik, Pak, kira-kira berapa nominal yang diterima oleh para buruh, sehingga menyerukan agar upah minimum dihapuskan?” Bagus, itu pertanyaan riil yang bisa menyentak para pemirsa untuk mendapat jawaban konkret, tidak mengawang-awang dan straight pada angka yang bisa dibayangkan.
Pengalaman liputan
Iona meliput Hari Buruh bersenjatakan kamera Nikon dan iPod 5 untuk merekam. “Untuk editing pasca produksi, saya menggunakan Sony Vegas Pro 10.0,” ungkapnya.
Datang pukul 9 pagi, Iona dan kawan-kawannya mendapati kondisi bundaran Hotel Indonesia masih sepi, tapi sudah ada polisi yang berjaga. Tak lama buruh, aktivis serikat pekerja, ormas-ormas, mulai berdatangan. Kondisi Bundaran HI juga semakin terik dan macet. “Saat itu, saya belum menentukan angle apa yang akan saya pilih. Kami masih mengumpulkan belanjaan visual untuk editing pasca produksi kami,” kenangnya.
Iona malah asyik menikmati riuh teriakan buruh, ormas, serikat pekerja, melihat mobil bak terbuka, mobil OB Van, dan merasakan sensasi berdiri di tengah Bundaran HI. “Agak norak memang, tapi sebagai mahasiswi yang baru belajar mencari berita di event besar, saya rasa momen yang seperti ini harus dinikmati, bukan dijadikan sebagai beban tugas UAS yang berat,” urainya.
Di tengah kebingungan memilih angle, Iona menemukan secarik kertas berisi 10 tuntutan buruh. “Yang tadinya bingung mau ambil angle apa, saya langsung membuat beberapa pertanyaan berdasarkan 10 tuntutan buruh tadi. Saya juga sebetulnya ingin tahu berapa penghasilan yang parah buruh dapatkan, tapi, saya gak enak nanya langsung ke orangnya,” katanya.
Ngobrol dengan pendemo, mereka diarahkan menemui Ketua DPP SPN Iwan Kusmawan. “Tidak disangka, ia ternyata mau untuk diajak wawancara untuk keperluan tugas akhir saya. Ia malah mengarahkan saya ke lokasi yang tidak terlalu ramai,” paparnya. Iona pun berbincang sebentar soal pertanyaan yang akan ia ajukan. Tidak berlama-lama, ia kemudian on cam lagi, mengajukan beberapa pertanyaan dan closing. Setelah selesai, ia berterima kasih dan merasa puas dengan liputan kali ini. “Saya merasa setara dengan mereka yang memakai label dan seragam dari media, karena berhasil wawancara dengan pimpinan suatu organisasi,” katanya bangga.
Iona bercerita, proses editing adalah hal yang cukup sulit, dan berusaha memperbaiki kesalahan seperti video waktu liputan kampanye untuk UTS. “Akan tetapi, saya baru menyadari bahwa ada seorang bapak yang tiba-tiba muncul dalam video saya. Saat liputan saya hanya fokus kepada Pak Iwan, tetapi ada orang lain yang muncul dan saya tidak sadar,” paparnya. Apa boleh buat, itu sudah terekam dan tidak bisa diulang kembali. “Itu kesalahan yang cukup mengganggu proses editing saya,” pungkasnya.