Wawancara dengan narasumber menjadi penting dalam sebuah liputan, karena di situlah terlihat orisinalitas karya reporter, selain menumbuhkan ‘aroma’ live dalam sebuah liputan di kerumunan.
Seperti juga saat meliput kampanye Partai Gerindra untuk tugas Ujian Tengah Semester, Dwita Asri tampil dengan semangat khasnya. Berbicara dengan mulut terbuka lebar dan gaya tersenyum ceria menjadi sebuah kelebihan tersendiri.
[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=SmW8we0UCvE]
Namun, di balik antusiasme kerjanya itu, ada beberapa catatan kecil pada karya ini. Pertama, insert visual yang terlambat ditampilkan saat Dwita terlihat ‘terlalu lama’ dipasang memenuhi layar. Kedua, masih menyebutkan daftar lokasi demonstrasi, tanpa disertai gambar pendukung yang sesuai. Sekali lagi, salah satu prinsip jurnalisme televisi adalah ‘avoid the list’, hindarilah menyebut daftar seperti, “Lokasi unjuk rasa ada di Bundaran HI, Gedung DPR dan Istana Negara’. Ketiga, lagi-lagi penggunaan istilah Istana Negara, yang seharusnya Istana Merdeka, karena kedua lokasi itu merupakan dua bangunan berbeda, meski letaknya saling bersinggungan.
Satu hal lagi yang tak beda dengan stand-up Dwita saat liputan kampanye, live report kali ini tak menyertakan narasumber untuk diwawancarai di lokasi. Padahal, kalau ada, tentu akan menjadi kekuatan plus.
Latar kurang bicara
Bersama beberapa kawan, Dwita sampai di kawasan Bundaran Hotel Indonesia sekitar 9.30 pagi. “Banyak bis perusahaan parkir di pinggir jalan Bundaran HI. Hiruk pikuk keramaian sudah mulai bising di telinga ketika para perwakilan buruh mengaspirasikan tuntutannya,” kisahnya.
Dwita memilih stand-up di seberang Mall EX, setelah berjalan dari Bundaran HI karena niatnya memang mengejar para buruh. Ia merasa, dengan berlatar buruh yang sedang bergerak, maka gambar yang didapat menghasilkan angle bagus. Satu hal yang tak diperhitungkan Dwita, beda dengan kawan-kawan yang on-cam di depan Bundaran HI atau di depan spanduk-spanduk maupun teatrikal demo, latar belakang yang didapatnya justru seng-seng penutup proyek MRT.
“Setelah standup berkali-kali dan gagal, akhirnya saya dapat standup dengan lancar pada saat take terakhir,” kenang Dwita mengingat perjuangan panjangnya.