Dua tahun berkutat menjadi produser dialog KompasTV, banyak cerita bisa dibagi. Salah satunya, bagaimana ketika keberuntungan menghampiri tanpa diprediksi.

Kadang saya percaya, keberhasilan dalam hidup ditentukan oleh keberuntungan. Persoalannya, bagaimana mendapatkan hoki itu yang perlu dicermati. Bisa karena jaringan luas, kesempatan nan berpihak, atau semata-mata karena kasih karunia Tuhan. Ada juga yang bilang sebagai ‘good karma’.
Rabu 23 April 2014 lewat jam satu siang. Saya tengah berada di atas ojek yang mengantarkanku bergegas dari kampus Universitas Multimedia Nusantara (UMN) di kawasan Gading Serpong menuju Stasiun Kereta Api Serpong. Hari itu, usai mengajar dua kelas Editing Program Televisi, mesti lekas menuju kantor via KRL Commuter, agar bisa sampai sebelum jam rapat rundown Kompas Malam pukul 15.00.
Telepon pintar berbunyi di tas kecilku. Untung terasa getaran dan suaranya. (Saya mengenal beberapa kawan yang kehilangan kesempatan panggilan wawancara kerja karena tidak mengangkat telepon dari HRD perusahaan yang dilamarnya).
“Siapa ini?” tanyaku dalam kencang. Nomor asing, di tengah perjalanan ojek motor nan ngebut.
Setelah meminta driver ojek menepi, kami pun bercakap.
Saat itu, di Jakarta tengah ramai isu pelecehan seksual di sebuah sekolah internasional eksklusif nan mahal di kawasan Cilandak. Korbannya beberapa siswa yang konon ‘dikerjain’ oleh petugas kebersihan. Beberapa hari sebelumnya, KompasTV sukses mengambil gambar sekolah itu dari atas melalui kamera ‘drone’ –yang saat itu sedang ngetrend. Gambar sukses diambil, lalu ketahuan petugas satpam. Cameraperson kami pun berlari demi menyelamatkan hasil bidikannya. Sukses tayang, tapi hingga saat itu, tak ada televisi yang live dari dalam sekolah.
Sang penelepon ternyata karib dari kawan saya. Ia mengaku sebagai staf konsultan komunikasi sekolah yang tengah disorot itu.
“Mas Jojo, KompasTV mau live wawancara dari dalam sekolah?” tanyanya.
“Lha, ya jelas mau dong. Saya punya dua program yang ada dialognya. Kompas Petang pukul 17.00-18.00 dan Kompas Malam pukul 21.00-22.00 Tapi kalau malam pasti sudah kemalaman ya,” jawabku.
“Ya sudah, kirim reporter yang bisa berbahasa Inggris ya. Langsung dengan kepala sekolahnya. Jam 5 sore kan?”
“Kapan?”
“Hari ini.”
“Hah???”
Berpikir cepat melintasi masalah
Mendekati pukul dua siang, koordinasi dilakukan dari tepian lahan kosong di kawasan perumahan elit Gading Serpong. Kebetulan, di ujung telepon, para produser pendekar program Kompas Petang tengah melingkar di meja rapat. Semangat terdengar saat saya sampaikan pesan, “Bisa kirim SNG live di dalam sekolah internasional sore ini?”
Begitulah, dalam dunia jurnalisme televisi, semua berubah dalam hitungan detik. Saya mengubah jadwal perjalanan. Dari rencana awal naik KRL turun di Stasiun Palmerah, saya beralih turun di Kebayoran. “Langsung jemput di Stasiun Kebayoran ya, segera kita menuju arah Lebak Bulus,” pesanku pada tim produser dialog.
Melewati berbagai ‘problem kecil’ –mengelabuhi wartawan yang berkumpul di pintu gerbang sekolah, masuk dari pintu belakang, lokasi live terhalang pohon dan terbatasnya kabel- Thank’s God, live dialog dengan pewawancara Sofie Syarief akhirnya terwujud, di segmen akhir jelang Kompas Petang ditutup pukul 18.00 WIB. Saat itu, durasi Kompas Petang memang masih satu jam, belum 90 menit seperti saat ini.
Kembali dari live, menerobos kemacetan Pondok Indah dan Gandaria, saya masih bisa hadir di rapat proyeksi KompasTV setiap pukul 7 malam. Membuka pintu ruang rapat, tepuk tangan apresiasi membahana. Termasuk dari pemimpin redaksi (almarhum) Taufik Hidayat Mihardja. Penghargaan yang membuat jiwa membuncah seperti itu tak bisa diukur dengan uang atau bintang jasa.
Moral lesson dari kisah ini sederhana saja: kadang sukses datang dengan kerja keras, misalnya menunggui narasumber penting dengan menggelandang berhari-hari di depan pagar rumahnya atau menghujaninya sms dan telepon sampai akhirnya diangkat. Tapi, kadang keberhasilan datang tanpa pernah kita undang.
Tetap berdoa, bersyukur, dan berbuat baik. Di situlah good karma akan menyapa.