Di Balik Layar Produser Dialog: Artis Politisi, Politisi Artis

Dua tahun berkutat menjadi produser dialog KompasTV, banyak cerita bisa dibagi. Yang ini tentang pengalaman lucu menghubungi artis yang mencoba kembali menjadi anggota legislatif.

Ngopi di warung bersama idola masa kecil, Adi Adrian KLa Project. Menunggu waktu on-air tiba.
Ngopi di warung bersama idola masa kecil, Adi Adrian KLa Project. Menunggu waktu on-air tiba.

Selalu ada cerita unik saat menghubungi narasumber untuk menjadi tamu dialog. Dengan segala suka duka dan kisah-kisah lucunya. Apalagi kalau sudah benar-benar mepet deadline. Waktu tayang kian mendekat.

Kali ini dialog ‘Kompas Malam’ akan mengangkat tema pesohor yang akan nyaleg, mencoba peruntungan berkiprah di dunia politik sebagai legislator. Ada banyak nama yang siap dihubungi, lengkap dengan nomor ponselnya. Entah nomornya benar, entah enggak, yang penting dicoba dulu. Entah mereka yang baru pertama maju nyaleg, atau yang dlu pernah jadi anggota DPR, terus vakum, terus mau nyoba lagi. Intinya, dia artis atau publik figur, dan niat terjun ke politik.

Setelah sempat menghubungi seorang artis, cantik, mantan anggota DPR, gagal tersambung, saya terdiam di meja. Tiba-tiba HP kesayangan itu berdering, nomor peneleponnya ya dari artis tadi. “Maaf, Mas? Tadi menelepon ya? Tadi lagi sibuk parkir mobil. Bisa telepon lagi sekarang?” katanya.

Saya bengong tak percaya saat sambungan itu sudah dimatikan. Puluhan tahun jadi artis, pernah duduk sebagai Wakil Rakyat Yang Terhormat di Senayan, pernah maju dalam persaingan pemilihan kepala daerah, minta ditelepon balik? Ah, ya sudahlah. Mungkin pulsa dia lagi mepet (hihihi…) Toh, HP operasional produser dialog yang saya pegang juga pakai pulsa pascabayar dari kantor. Saya telepon balik, deh.

“Tapi, Mas, ada uang transpornya, kan? Berapa? Aduh, jangan segitu, dong. Kalau di TV Satu aja saya dapat Rp 1,5 juta lho…”

Varian budget dan aneka permintaan

Di ruang tunggu narasumber bersama dua artis yang nyaleg. Putri Nere untuk DPRD Papua dan Sonny Tulung DPR dari Sulut.
Di ruang tunggu narasumber bersama dua artis yang nyaleg. Putri Nere untuk DPRD Papua dan Sonny Tulung DPR dari Sulut.

Widiiih… kena masalah di budget deh. Normalnya, rate uang transport untuk narasumber dialog –untuk bicara dua atau maksimal tiga segmen dialog di televisi- memang tak sampai segitu. Saya juga tahu standar di tv lain pun tak berbeda. Judulnya memang uang transport, tapi jika sang narasumber minta dijemput mobil KompasTV pun, kami akan menyediakan fasilitas mobil dan driver-nya. Dan itu sama sekali tidak mengurangi jatah honor yang diterima.

Untuk kasus khusus, misalnya artis atau mereka yang hidupnya benar-benar menyandarkan diri dari ‘bisnis ngomong’ bisalah ratenya dinaikkan sedikit. Tapi ya tetap aja tak sampai angka segitu. Beda pula kalau narasumbernya orang-orang yang dalam tragedi. Untuk orangtua dari anak yang kesetrum di mal, pemimpin redaksi Kompas TV pernah minta agar diberi honor dengan jumlah yang sangat spesial. “Kalau butuh tanda-tangan saya, saya yang akan bertanggungjawab,” katanya. Begitupula untuk kasus korban salah tangkap dan aniaya polisi, orangtua anak yang bayinya meninggal karena ditolak di rumah sakit, budayawan yang rutin harus menjalani perawatan kesehatan khusus setiap pekannya, dan lain-lain.

Tapi, untuk artis itu. Yang sudah sangat kaya, dan bahkan kemunculannya di televisi bisa dianggap sebagai promosi pencalegannya… Ah, saya tak habis pikir.

“Oh ya, satu lagi, Mas. Nanti bisa enggak gelar doktor saya ditulis dan disebut di layar? Kan saya dapat doktornya beneran, lho. Bukan seperti pak pimpinan DPR itu,” tambahnya.

Walah, banyak sekali syarat dan keunikan tokoh ini: minta ditelepon balik, budget cukup tinggi, dan gelar doktor dinyatakan saat dialog. Oke, kalau nama dan gelar disebut pertama oleh presenter, bolehlah. Tapi kalau sampai ditulis di CG (character generator alias keterangan nama narasumber) menurut saya kok ya berlebihan. Bahkan disebut sebagai sapaan pun seharusnya tak perlu. Sama seperti kita tak perlu menyebut tamu kita, “Saya sudah bersama Bapak HAJI Suryadharma Ali, PROFESOR BJ Habibie, atau INSINYUR Soekarno…” Gelar tak perlu disebut dalam sapaan narasumber, kecuali dalam kasus khusus, jika pembahasan dialog menganggap penting gelar itu karena sesuai topik yang diberikan.

Jadi, kalau Anda jadi produser dialog, enaknya diteruskan nggak, deal dengan narasumber tadi?

Saya cuma berkomentar singkat, “Sebentar, nanti kami diskusikan dengan produser yang lain dulu…”

Leave a Reply

Your email address will not be published.