* dimodifikasi dari repost tulisan 30 Januari 2014
Hari ini, Papa semestinya berulangtahun ke-60. Tahun lalu, Papa mengakhiri pertandingan dengan baik, mencapai garis akhir, dan telah memelihara iman. Papa mengajarkan banyak hal: loyalitas, ketekunan, dan kepasrahan pada Sang Kuasa.
Hari ini, Facebook mengingatkan daftar ‘teman’ yang berulangtahun: 27 Februari 2015. Salah satunya, Papa. Pak Sugeng, ayah tercinta saya, kelahiran Magetan, Jawa Timur, pada 1955. Setahun lalu, tepat sebulan sebelum hari jadinya ke-59, Papa meninggalkan dunia yang fana ini.
Papa menyelesaikan perjuangannya, setelah dirawat intensif tak sampai 2 x 24 jam di Rumah Sakit Bakti Dharma Husada dan RSUD Dr Soetomo, Surabaya. Penyakit gula alias kencing manis yang kian mengganas, membuat beberapa kondisi bagian tubuh luar dan dalam Papa memburuk.
Papa telah bertarung amat keras. Mencoba tak menyerah sampai detik-detik akhir hidupnya. Meski kondisi fisik beliau turun amat drastis, setidaknya sejak perjumpaan terakhir kami, di liburan tahun baru 2013 menuju 2014. Tahun lalu, kami melewatkan malam pergantian tahun bersama, setelah menyusuri Jembatan Surabaya-Madura, hingga ke rumah di Menganti, Gresik.
Dekat dengan Tuhan
Terlahir di Magetan, Jawa Timur, dengan nama singkat, Sugeng –meski pernah menyatakan bernama Sugeng Raharjo atau Sugeng Tri Rahardjo, Papa sebenarnya menjalani hidup dengan “sugeng”, alias sehat. Pensiun dari pekerjaan juga tidak dipercepat, sekitar 53 tahun, lebih karena saat itu kondisi perusahaan tidak menguntungkan. Lebih dari 8 jam sehari dilakoninya turun naik bus kota, sebagai kondektur bus kota DAMRI di berbagai trayek di Surabaya. Paling lama dijalani di rute Bungurasih-Joyoboyo dan Joyoboyo-Jembatan Merah. Kala saya sudah hijrah ke Jakarta, pernah sekali menemani di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2005 silam. Papa bersama kawan-kawannya hadir melaporkan ruwetnya kondisi perusahaan, dan korupsi yang dilakukan manajemen perusahaan transportasi milik negara itu. Beramai-ramai menempuh ratusan kilometer, mereka menggunakan bus perusahaan, dari Surabaya menuju ibukota negeri.
Bisa Anda bayangkan, 30 tahun bekerja di sebuah perusahaan yang sama. Memiliki sertifikat penghargaan sebagai kondektur terbaik se-Indonesia pada 1990-an, menjadi prestasi yang ditulisnya dalam biodata keluarga kami, saat audisi calon peserta “Kuis Keluarga Lifebuoy”. Ingatkah Anda pada kuis yang dibawakan Cathy Bonn setiap Selasa malam di SCTV sekitar 1992-1995 itu?
Berpasrah pada Tuhan. Itulah yang saya ingat, saat dini hari masuk rumah, di kawasan Bratang, Surabaya, pada akhir Agustus 1995. Mengabarkan hasil gembira usai melihat langsung pengumuman Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Saya diterima di pilihan pertama, Ilmu Komunikasi FISIP Unair. Masuk rumah, bukan sorak senang menyambut itu. Papa mengajak kami berdoa. Intinya, menyerahkan pada Tuhan, bagaimana pembiayaan kuliah anak sulungnya. “Sampai saat ini, Papa belum terbayang, uang dari mana untuk bayar sekolahmu nanti,” kata Papa, sebagai intro doa kami. Waktu terus berjalan. Sekitar 12 tahun kemudian, rumah kami sudah dipenuhi foto wisuda sarjana tiga anaknya.
Memori otak saya cukup kuat menyerap beberapa ucapan yang melekat dari orang-orang dekat. Dari Papa, saya mencatat setidaknya dua kalimat, “Jangan menunda-nunda pekerjaan”, dan “Kalau mikir itu jangka panjang, jangan jangka pendek.” Sementara dari Mama, yang berpulang lebih awal pada 2006 karena kecelakaan lalu-lintas juga disertai diabet tinggi, beliau pernah berujar, “Jangan sampai Mama tahu, anak-anak Mama berkelahi karena rebutan nasi.”
Sampai jumpa di sorga, Papa dan Mama… Terimakasih semangat hidup, dan inspirasi nyatanya.