Saya tergolong telat membaca buku kedua dari seri triloginya Ahmad Fuadi. Tapi, tetap saja menghadirkan inspirasi luar biasa.
Dua mantra yang menjadi intisari Negeri 5 Menara dan Ranah 3 Menara memberi makna kuat bagi perjalanan setiap orang yang mendamba kesuksesan dan berangkat dari titik nol penderitaan. Setelah ‘man jadda wajada’ –siapa yang berusaha dengan sungguh-sungguh akan berhasil- menjadi kekuatan di novel pertama, kemudian muncul ‘mantra’ kedua: man shabara zhafira, siapa yang sabar akan beruntung.
Ahmad Fuadi, kini langganan diprofilkan di Harian Kompas karena prestasinya sebagai salah seorang dari beberapa gelintir orang di negeri ini yang banyak mendapatkan beasiswa bergengsi. Sebagai ‘scholarship hunter’, alumni Pondok Modern Gontor dan Hubungan Internasional Universitas Padjajaran ini memperolah beasiswa Fulbright untuk kuliah S-2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University di ibukota Amerika Serikat. Ia pun mendapatkan beasiswa Chevening Award untuk belajar di Royal Holloway, University of London untuk bidang film dan dokumenter. Termasuk program pertukaran pelajar dan fellowship lainnya, Fuadi telah mengumpulkan 8 beasiswa di luar negeri dan berkesempatan tinggal di Kanada, Singapura, Amerika Serikat, dan Inggris.
Dilukiskan sebagai Alif, seorang miskin dari tepian Danau Maninjau Sumatera Barat yang memiliki keinginan kuat masuk universitas, setamat menempuh pendidikan Pondok Madani di Jawa Timur. Kisah susah payah menempus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri dikisahkannya, dari proses belajar hingga sukses –terinspirasi kemenangan tim underdog Denmark di Piala Dunia 2014- hingga meninggalnya sang ayah saat Alif tengah menempuh pendidikan di Unpad yang dibanggakannya.
Bertahan dan juara

Perjalanan menjadi pejuang di rantau, Bandung, dilukiskannya dengan heroik. Dari ngekost menumpang kawan sekampung yang kondisi kiriman dari keluarganya lebih baik, makan pagi dengan bubur dicampur air agar kenyang, sampai berhadapan dengan begal saat menjadi penjaja pakaian door to door demi memenuhi kebutuhan hidup. Akhirnya, toh, Alif menemukan jalur hidupnya sebagai seorang penulis.
Romantika mendapatkan pengalaman pertama naik pesawat dan hidup di negeri orang pun menjadi alur yang menarik. Bagaimana tak sengaja bertemu ‘pembuka jalan’ alumnus program pengiriman mahasiswa ke Kanada di atas bus Damri di Bandung, hingga keberhasilannya lolos seleksi meski keahlian berkeseniannya amat payah.
‘Daging’ buku Ranah Tiga Warna ini memang ada dalam kisah live in Alif di Quebec, Kanada. Tak lupa ada bumbu dua bab di Yordania, melengkapi maksud tiga warna perantauannya: tanah Sunda, Timur Tengah, dan Benua Amerika. Happy ending-nya saat Alif meraih medali emas sebagai peserta terbaik dalam live in di Saint-Raymond. Ia membuktikan, jalan jurnalistiklah yang membuatnya mengharumkan bangsa, dan bukan ‘kesenian’ yang nyaris mengganjalnya di seleksi akhir menuju Kanada. “Aku membuktikan bahwa aku mengharumkan nama bangsa melalui prestasi laporan jurnalistik, bukan hanya nyayi dan tari,” puas Alif di halaman 416.
Kekuatan Ranah 3 Warna juga ada pada roman story antara Alif, Raisa, dan Randai. Tidak happy ending bagi tokoh utamanya, dalam hal meraih Raisa, tapi diobatinya saat membawa isterinya –sengaja tak disebut namanya- dalam kunjungan kedua ke Quebec, sebelas tahun kemudian.
Sebagai sebuah buku yang setengah novel dan sebagian besarnya kisah nyata, sangat disayangkan halaman-halamannya kosong tanpa iustrasi, foto, kartun, potongan tiket, atau apapun yang bisa mendokumentasikan perjalanan nan penuh kemenangan itu. Kecuali selembar daun maple jingga yang diselipkan sebagai pembatas buku.