Dua lembaga keagamaan besar berbeda pendapat soal hukuman mati.
Dalam sebuah kebun, tak semua bunga harus berwarna merah. Dalam demokrasi, berbeda pendapat itu biasa. Menjelang rencana eksekusi hukuman mati kloter kedua oleh Kejaksaan Agung di Nusa Kambangan, Jawa Tengah, suara-suara pro dan kontra hukuman mati bermunculan. Yang mendukung antara lain Komisi Nasional Perlindungan Anak, dan Gerakan Anti Narkotika. Yang menolak, di antaranya kelompok pegiat hak asasi manusia, termasuk Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Di luar mereka, dua lembaga keagamaan berbeda pendapat. Nahdlatul Ulama (NU), yang konon memiliki 140 juta nahdliyin atau pengikut, berada di garis depan pendukung eksekusi hukuman mati. Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj menganggap, hukuman mati tidak bertentangan dengan Al Qur’an.
Selain itu, NU juga mendukung keputusan Presiden Joko Widodo menolak grasi terpidana mati kasus narkoba, sebagai bukti tindakan tegas memerangi narkotika dan obat-obat terlarang.
Bentuk frustrasi negara
Sebaliknya, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menegaskan bahwa hukuman mati bertentangan dengan hakekat kehidupan. Dalam surat yang disampaikan kepada Presiden RI dan ditandatangani oleh Ketua Umum PGI Henriette T. Hutabarat Lebang, serta Sekretaris Umum. Gomar Gultom, PGI berpendapat bahwa
segala bentuk hukuman hendaknya memberi peluang kepada para terhukum untuk kembali ke dalam kehidupan yang bermartabat. “Jika hukuman mati dilakukan maka peluang untuk memperbaiki diri menjadi tertutup sama sekali,” tegas Henriette. Menurut PGI, praktek hukuman mati merupakan bentuk frustrasi negara atas kegagalannya menciptakan tata kehidupan masyarakat yang beradab dan bermartabat.
PGI tegas menolak adanya pemberlakukan hukuman mati sebagai bentuk hukuman terhadap kejahatan karena menilai Hukuman mati menodai rasa kemanusiaan dan keadilan serta bertentangan dengan hakekat kehidupan yang diberikan Allah, Sang Pencipta dan Pemelihara Kehidupan. “Hukuman mati tak lagi memberikan ruang bagi orang untuk melakukan perbaikan diri atau pertobatan,” kata pendeta perempuan asal Gereja Toraja itu.
PGI juga meminta agar Presiden Jokowi lebih bijaksana dan mempertimbangkan kembali rencana eksekusi hukuman mati. “Kami berharap agar sanksi hukuman mati dihapus dalam semua regulasi, sesuai dengan substansi yang terkandung dalam konstitusi kita, pasal 28 I ayat (1) UUD 1945,” paparnya.