Delapan Jam di Nusakambangan

*mengenang kesempatan ke Nusakambangan, awal 2008

Di Lapas Batu, Nusakambangan. Tempat Tommy dan Bob Hasan pernah tinggal.
Di Lapas Batu, Nusakambangan. Tempat Tommy dan Bob Hasan pernah tinggal.

Matahari baru dua kali terbit di tahun baru, saat saya bersiap menuju Nusakambangan, sebuah noktah kecil yang terletak dalam wilayah administratif Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Berbeda dengan perjalanan
menyinggahi pulau-pulau kecil lain di tanah air -seperti Pulau Weh di Aceh, Bawean di Jatim, Nias di Sumut atau beberapa kawasan di Kepulauan Seribu, DKI- peziarahan kali ini ini mengundang rasa ingin tahu besar tentang destinasi yang akan dituju. Ya, sebuah pulau berpenduduk tiga ribu jiwa yang kali pertama diresmikan penggunaannya sebagai penjara oleh kolonialisme Belanda pada 1920-an.

Setelah malam sebelumnya menginap di sebuah hotel bintang satu di
jantung kota Cilacap, pukul 07.55 kami sudah merapat ke Dermaga
Wijayapura, yang terletak satu area dengan Pelabuhan Tanjung Intan, Cilacap. Aneka birokrasi khas Departemen Hukum dan HAM menyambut tetamu yang berniat menyeberang ke Nusakambangan.

Maklum, meski masuk wilayah Pemkab Cilacap, pengelolaan pulau berjuluk “ ‘The Alcatraz of Indonesia’” ini sepenuhnya berada di tangan Dirjen Pemasyarakatan Depkumham. Mereka yang akan berkunjung ke Nusakambangan dikategorikan dalam beberapa kategori tamu, antara lain “tamu dinas”, “tamu keluarga petugas”, “tamu pengunjung napi”, dan “tamu lain-lain”, masing-masing lengkap dengan aturan yang berbeda, mulai membawa surat pengantar kepala desa, sampai surat dari Kanwil Depkumham Jateng. Saya tergabung dalam rombongan Bugiakso, mantan anggota DPRD DIY yang kini menjadi penyanyi lagu religi dan berniat menghibur para narapidana di LP Batudan LP Besi, Nusakambangan.

Setelah urusan basa-basi di pos penjagaan selesai, saya dan rombongan masuk ke badan Pengayoman II, kapal ferry milik Depkumham yang  setiap hari hilir mudik menghubungkan selat kecil itu. Kapal ini lebih kecil dari kapal ferry yang melintasi Selat Madura, tapi toh mampu mengangkut lebih dari 50 manusia, beberapa motor dan sebuah bis berkapasitas 25 tempat duduk.

Sepuluh menit menyeberang

Lapas Besi, Nusakambangan. Tak seangker yang dikira.
Lapas Besi, Nusakambangan. Tak seangker yang dikira.

Penyeberangan ditempuh tak sampai sepuluh menit, dengan Depo Pertamina terhampar di sisi kanan kapal, dan penambangan semen milik Holcim di sisi kiri. Di tengah laut, sebuah perahu kecil asyik memancing persis di sebelah buih petunjuk navigasi.

Kapal merapat di Dermaga Sodong, sebuah bando besi bertuliskan “Pemasyarakatan Nusakambangan” menyambut kami. Ada pula sebuah tugu dengan prasasti “17 Agustus 1945, Hari Kemerdekaan Bangsa dan Tanah Air Indonesia”. Sedikitnya, lima warung mie rebus menyemarakkan suasana dermaga kecil di pulau seluas 121 kilometer persegi itu.

Menuju lokasi pertama, LP Batu, alih-alih naik bis rombongan, saya sengaja menumpang kijang bak terbuka yang membawa berbagai piranti musik dan sound system. Jalan tak beraspal yang kami lalui hanya cukup untuk satu mobil, menyajikan pemandangan alang-alang dan hamparan Segara Kidul di kejauhan. Beberapa kali mobil menepi, saat berpapasan dengan roda empat lain dari arah berlawanan, salah satunya station serupa mobil travel yang ditempeli stiker gagah: “Trans Nusakambangan”. Batin saya mulai menebak-nebak, “Ah, pasti ini shuttle khusus untuk mengantar para tahanan VIP macam Tommy Suharto atau Bob Hasan dulu.”

Komplek bui pertama yang kami lintasi bernama “Lapas Terbuka kelas II B” yang terletak berdampingan dengan perkebunan jarak. Setelah melewati Obyek Wisata Goa Ratu, tampak rumah-rumah petugas jaga seperti jamur tumbuh di musim hujan. Lalu, sebuah pertanda dari batu memberi salam: “Wilayah Pemasyarakatan”. Beberapa ratus meter melaju, belasan anggota polisi duduk santai di dekat truk Brimob di depan Wisma Sari. Menyusul kemudian adalah kawasan unit peternakan dan pertanian, balai pengobatan, sebelum akhirnya sampai juga di LP Batu.

Inilah LP Batu, tempat tiga teroris aktor peristiwa Bom Bali; Imam Samudra, Amrozi, dan Muklas, dikurung. Juga dalam sel yang terpisah dengan napi lain, berdiam tenang pembunuh berdarah dingin, Gunawan Santosa.

Melongok ke papan pengumuman, terpasang peringatan, ‘Larangan Peminjaman dan Kepemilikan HP, Sanksi Tegas bagi Petugas/Napi yang Melanggar’. Ada juga surat edaran dari Kepala Dinas Pemasyarakatan Kakanwil Depkumham Jawa Tengah, Bambang Winaryo, yang menyatakan, “““Saat ini tidak ada lagi dikenal istilah tahanan politik di Indonesia.”””

Masuk ke lobby ruang tamu, terpasang Peta Kawasan LP Nusakambangan, berisi detail lokasi tujuh lapas yakni Lapas Terbuka II B, Lapas Kelas I Batu, Lapas Kelas II A Besi, Lapas Narkotika, Lapas Kembang Kuning, Lapas Permisan, dan Lapas Pasir Putih. Belakangan, saya paham, Lapas Kelas I Batu untuk napi teroris, koruptor, dan penjahat kelas kakap lain, Lapas Besi untuk napi narkotika, Lapas Kembang Kuning untuk napi
kriminal, dan Lapas Pasir Putih dikenal sebagai kawasan SMS alias Super Maximum Security. “Di Pasir Putih alias penjara SMS ditempatkan para bandar narkoba dengan hukuman di atas 10 tahun, termasuk beberapa di antaranya warga negara asing,” terang Pelaksana Harian Kalapas Batu, Djaja Tjahjana. Konon, aktor film bokep Ibra Azhari kini tercatat sebagai salah seorang warga binaan di Lapas Pasir Putih.

Selain memuat lokasi ketujuh lapas, peta berskala 1 banding 10 ribu itu juga menunjukkan kawasan lain seperti perkebunan karet, hutan bakau, serta pertambangan batu kapur. Termaktub pula primadona wisata Cilacap di Nusakambangan, seperti Pantai Karang Bolong dan Segara Anakan.

Di sisi kanan lobby, terpajang etalase yang memamerkan hasil karya kerajinan batu para napi. Aneh-aneh nama batu buatan mereka, sesuai bentuknya, ada yang bernama “Love”, ada juga yang diberi judul “Obat Tetes Mata”. ““““Kami tidak mematok harga, silahkan saja kasih berapa, sebagai kenang-kenangan,””” kata seorang warga binaan yang menjadi pramuniaga kerajinan batu. “Usaha ini berkembang pesat setelah Bob Hasan
menyumbang tiga mesin untuk memperhalus batu. “““Sebelumnya, semua kami kerjakan dengan tangan dan alat perkayuan biasa,””” kisah Heriyanto, narapidana kasus pembunuhan yang telah lima tahun mendekam di LP Batu.

Di perbatasan antara lobby menuju kamar sel dan aula, terpampang baliho berbunyi, “‘Mereka Bukan Penjahat, Hanya Tersesat, Belum Terlambat untuk Bertobat’.” Di pos pemeriksaan yang memisahkan kawasan orang merdeka dan terpenjara itu, terlihat beberapa tulisan menyolok mata, ‘“Jangan Lupa Trolling”’. Usut punya usut, kata Trolling merupakan kependekan dari “Kontrol Keliling”.

Sampai di sini, Djaja Tjahjana kembali menegaskan, ““Tolong jangan salah sangka kalau kami membatasi kegiatan pers. Sesuai izin kunjungan, tolong jangan meliput soal napi teroris”.” Untuk pentas kesenian kali ini, Djaja bercerita, dirinya telah menyampaikan penawaran kepada Amrozy cs, apakah mereka bersedia keluar sel dan menjadi penonton “Konser Penyejuk Hati” seperti layaknya 160-an penghuni LP Batu lainnya. “Mereka menolak dan tetap ingin di dalam sel saja. Alasannya, “Musik itu haram”,” kisah Djaja.

Untuk diketahui, selama seminggu, Amrozi cs hanya bisa sekali bersosialisasi dengan para napi yang hidup di kamar-kamar, yakni saat Salat Jum’at digelar. Sisanya, mereka menghabiskan waktu dalam sel-sel eksklusif yang letaknya di ujung luar pintu masuk pos pemeriksaan LP Batu. Kami tak beruntung bertemu Amrozi, namun saat meninggalkan LP Batu, beberapa rekan mendengar suara khasnya berseru, ““Allahu Akbar… Allahu Akbar..”””

Di auditorium LP Batu, konser musik berlangsung mulus. Sambil duduk di karpet, saya berkenalan dengan Heriyanto, pembunuh asal Semarang tadi. Heri bertutur, ia dibui karena menggorok saingan bisnis bosnya, sesama pemilik dealer penjualan mobil di Purwokerto. “ ““Membunuh orang itu gampang, mas. Yang susah itu bagaimana menjalani hukumannya,””” kata Heri. Selama di Nusakambangan, tak sekalipun anak isterinya yang tinggal di Wates, DIY, diizinkan Heri menengok. ““Jauh,””” itu dalihnya. Namun toh, ia tak perlu khawatir akan kebutuhan hidup keluarga yang telah ditinggalkannya lima tahun ini. “Sesuai perjanjian sebelum pembunuhan itu, “Bos saya wajib mengirim biaya hidup kepada keluarga saya. Sekitar Rp 400 ribu per bulan,””” urainya. Kalau toh pada 2008 ini Heri jadi
menghirup udara bebas, ia juga tak perlu mencemaskan hari depannya. Sang juragan siap kembali menampungnya sebagai karyawan.

Tengah hari, konser di LP Batu kelar. Kami bergegas beranjak menuju LP Besi, yang sesungguhnya jaraknya hanya sepelemparan batu. “Ini napi khusus narkotik. Ada lebih 331 orang di sini,” kata Kalapas Besi, Mirza Zulkarnaen. Seperti juga di LP Batu, sebelum masuk aula, kami wajib menitipkan tas di ruang kalapas. Sebuah tempelan kertas terpajang di sana, “Daerah BPU (Bebas Peredaran Uang Tunai)”.

Sembari menikmati konser Bugie, saya berkeliling LP Besi, melongok kondisi kamar napi yang sebenarnya tak beda dengan barak tentara. Hanya saja, di sini kasurnya lebih empuk dan suasananya lebih acakadul. Ada 18 kamar di LP Besi, dengan masing-masing kamar dihuni antara 17-20 orang.

Tangan saya terjulur kepada Ifan Adriansyah, napi asal Aceh Besar yang tertangkap saat penggerebekan ganja di Bogor. ““Saya lagi apes. Maksud hati mengantar uang untuk bayar hutang Rp 6 juta pada teman saya itu, eh, ternyata rumahnya kena gerebek,””” ceritanya.

Namun, lajang 35 tahun itu bukan berarti tak bisa bersyukur. “Kalau  tidak di sini, barangkali saya sudah mati tergulung tsunami,” katanya. Tahun ini ia berhak memperoleh Pembebasan Bersyarat, sebuah status bebas yang diperoleh bila seorang napi telah menjalani 2/3 masa hukuman. Akankah ia kembali ke Nangroe? “Tidak. “Di sana tidak aman. Saya mau cari uang di Jawa lagi,”” tekadnya.

Jawaban berbeda terlontar dari mulut Munadi, juga napi asal Aceh. Ia terpenjara karena kedapatan membawa narkotika saat mobil yang ditumpanginya kena razia di Padalarang, Jawa Barat. “Maksud hati mau jalan-jalan ke Bandung, eh, malah kena,” paparnya. Kalau bebas nanti, Munadi, yang anak istrinya tinggal di Parung, Bogor berencana kembali ke Aceh. “Siapa bilang di sana tidak aman?”” katanya.

Munadi bercerita, ada dua cara berbeda menyangkut pembebasan seorang napi. “Kalau ia bebas bersyarat, maka akan diantar sampai ke Kejaksaan Negeri Cilacap, untuk menandatangani berbagai surat administrasi,” tuturnya. Tapi, kalau seorang napi dinyatakan bebas murni, maka ia akan dilepas hanya sampai pintu luar LP Besi. Lho, lalu bagaimana perjalanannya menyeberangi pulau penjara ini, apakah ongkos ferry bisa
digratiskan bagi eks napi? “Jangan khawatir, setiap napi yang bebas akan dibekali surat keterangan bebas, yang berlaku selama 24 jam sejak mereka keluar dari penjara,” jelasnya. O…. tiba-tiba pikiran saya terbang ke metro mini dan bis PPD di ibukota, “Jadi, surat semacam ini yang dijadikan senjata para pemalak di bis kota itu.”

Mendekati jam empat sore, saya sudah berada di perahu compreng bertarif dua ribu perak yang mengantarkan kami kembali ke Jawa. Senja itu, Kapal Ferry Pengayoman II belum berani menunaikan tugasnya karena gelombang sedang pasang. Tak ada alternatif lain kalau ingin menyeberang terlebih dulu, kecuali menitipkan nyawa pada perahu solar kecil yang dengan gagah menembus selat selama tiga menit.

Itulah Nusakambangan. Tidak seangker bayangan semula. Mereka manusia biasa. Salah besar jika mengibaratkan para napi ini laksana manusia vampir yang tewas terinfeksi sampar dalam film “I am Legend” – nya Will Smith. Terkenang tekad Ifan Adriansyah, penghuni LP Besi yang akan kembali sebagai manusia merdeka tahun ini, “ ““““Pengalaman hidup di penjara membuat saya bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Saya mendapat banyak manfaat dan ilmu di sini, sehingga nanti bisa dapat hidup lebih baik. Kesalahan kemarin menuntun saya ke jalan yang benar.”””

Tapi, benar ‘gak sih, untuk bisa membedakan antara yang baik dan buruk seorang manusia harus masuk bui dulu?

Yogyakarta, 3 Januari 2008

Leave a Reply

Your email address will not be published.