Buku rangkuman evaluasi nan berisi yang menjadi tradisi Tempo sebagai sebuah institusi bergengsi. Maunya menjadi pedoman jurnalistik dengan gaya nge-pop. Sayang kalau terjebak menjadi buku pelajaran bahasa.

Sebagai sebuah media yang berusia hampir setengah abad, Tempo menjadi patokan publik karena banyak hal. Akurasi beritanya, eksklusivitas isu, pendalaman topik, narasumber kelas utama, jurnalis pantang menyerah, hingga soal gaya bahasa yang berbeda. Aneka kelebihan Tempo itulah, termasuk mengkritisi bahasa kekinian di sekitarnya, menjadi ‘daging’ utama buku rangkuman Bagja Hidayat, salah seorang jurnalis senior Tempo, dari kelas Amarzan Loebis, jurnalis lain yang berlipat kali lebih senior, setiap hari –umumnya- Selasa.
Bagja menulis poin-poin penting ucapan Amarzan tidak dalam coretan kertas yang mudah hilang dan kerap tulisannya susah dibaca oleh si penulis sendiri. Alumnus Fakultas Kehutanan IPB ini memilih mencuitkan setiap ada pernyataan menarik dari sang mentor ke ranah twitter. Untuk mempermudah ‘memanggilnya’ kembali, ia memberi kode atau tagar #kelaSelasa. Dari cuitan-cuitan yang dikumpulkannya, pemilik akun @hidayatbagdja kemudian mengelompokkan dalam berbagai kluster penulisan seperti angle, reportase, wawancara, outline, lead, teknik membuat kalimat, bahasa, kutipan, judul, dan penyuntingan.
”Bagja Hidayat patutlah diperhitungkan karena dua hal.Pertama oleh ketekunannya mencatat, dan kedua oleh kenekatannya memberkas catatan cuitan itu menjadi sesuatu yang ‘layak jual’ –tanpa sepengetahuan si empunya cerita,” kata Amarzan, 72, redaktur senior Tempo, pengajar berbagai pelatihan penulisan, serta penyair yang pernah menyandang status tahanan politik Pulau Buru.
Pelajaran jurnalistik praktis

Awalnya mengasyikkan membaca lembar demi lembar buku ini. Terutama saat Bagja mengutip Amarzan tentang bagaimana kaidah penulisan yang baik, terutama dalam feature dan memilih angle. Soal obyektivitas dan netralitas jurnalis dicuitnya, “Etika wartawan: tak menulis dengan rasa benci sekalipun obyek yang ditulis koruptor menjijikkan.” Tak lupa ia berulang-ulang menekankan bahwa tiga rukun news story adalah narasi, deskripsi, dan kutipan. “Hilang salah satu, tulisan tak sah,” cuitnya. Syukur-syukur ada humor. Kutipan membuat tulisan membumi dan tak mengawang-awang. Kutipan membuat tulisan news story ajek, karena menunjukkan ada narasumber informasi yang diwawancarai. “Hadirkan kutipan minimal di alinea tiga,” tipsnya. Sebab news story bukan opini, kutipan dan deskripsi menunjukkan reportase penulisnya.
Tapi, buku ini memberi nafas pendek bagi mereka yang tak suka pada ketelitian dan minat jurnalisme level lanjutan. Kalau tingkat kesukaan pada jurnalistik dan bahasanya masih rendah, buku ini serasa menjadi pelajaran bahasa yang membosankan. Simak twit-twit seperti, “Hati-hati memakai kata ‘setelan’. Misalnya: setelan jas birunya masih kaku. Ini salah karena setelan itu merangkap celana.” Atau, “Telat artinya terlambat, dari bahasa Belanda: te laat atau too late dalam Inggris.” Masih beruntung kalau ada sedikit jenaka seperti cuitan, “Multiyear itu tak pakai ‘s’ di belakangnya, karena ia adjektiva, bukan bilangan. Sama seperti multivitamin, multiorgasm.”

Sejatinya, alangkah asyiknya jika buku ini tak melulu tulisan. Dalam cuitan terkini di twitter #kelaSelasa ada gambar-gambar yang mendukung materi terkait tips jurnalistik dan kaidah bahasa yang benar. Betapa asyiknya kalau foto-foto semacam itu disertakan. Juga akan jadi lebih paripurna kalau menampilkan tempelan berita-berita yang dikutip dan menjadi pembahasan, seperti obituari Misbcah Yusa Biran tulisan JJ Rizal yang kata Amarzan menjadi tulisan sejenis terbaik dalam dua tahun terakhir. Sedikit bumbu membuat masakan menjadi tak hambar.
Terlepas dari itu, keuletan dan kejelian Bagja memilih cuitan-cuitan dari kelas yang dikatakan Amarzan “berisi percakapan mengalir” memberi warna baru di antara buku-buku pelajaran menulis. Buku setebal 187 halaman ini sekaligus membuat orang luar bisa mengintip dapur Tempo yang tercermin antara lain lewat #kelaSelasa, sebagai tanda hidupnya “semangat demokrasi” di sana.