Ketika liputan, merencanakan Plan A saja tak cukup. Banyak kondisi bisa terjadi, sehingga membutuhkan back-up plan.
Kelompok yang beranggotakan Putri Hapsari, Christine Yapman, Johanna Elizabeth mengawali paket ‘breaking news’ nya –agak aneh juga sih persiapan konser One Direction dikategorikan sebagai ‘breaking news’ dengan klip dari youtube. Sebagaimana karya lain dalam Ujian Tengah Semester mata kuliah Jurnalistik TV Universitas Multimedia Nusantara, pilihan seperti itu sah-sah saja. Tapi, kecenderungan memakai klip dari internet menunjukkan minimnya stok ‘belanjaan’ saat liputan, sehingga orisinalitas karya pun menjadi berkurang.
Pelajaran lain dari karya ini yakni sinkronisasi antara naskah dalam paket dengan visual yang muncul. Saat narasi menjelaskan suasana hujan beberapa jam jelang konser, gambar yang tampil masih klip dari youtube itu. Telat memadukan gambar dengan narasi menjadi kejanggalan dalam sebuah package jurnalistik televisi.
Putri Hapsari –yang mengaku tak bisa diam di depan kamera- hadir dengan rasa percaya diri tinggi. Hanya saja, posisi atau pemilihan tempat (blocking) saat stand-up perlu dievalusi secara khusus. Alih-alih mencari latar bernuansa konser, background tempatnya berdiri marak dengan umbul-umbul sponsor. Tentu saja, secara estetika ini kurang asyik.
Tampil dalam suasana hujan, pemirsa bisa mengerti saat Putri memakai jas hujan. Tapi saat mewawancarai narasumber yang tak memakai penutup kepala, sebaiknya topi Putri pun juga dilepas. Topi, kacamata gelap, dan asesoris lain yang ‘merusak layar’ sebaiknya dihilangkan dulu saat on-cam, baik itu milik reporter maupun narasumber. Di sinilah pentingnya peran dua orang lain dalam kelompok ini sebagai semacam stylist atau piñata gaya. Sisanya, adalah mengurangi celetukan tak penting dalam wawancaranya. Apa perlu misalnya berucap, “Oh, duduk di VVIP toh…”
Sebenarnya ‘jualan’ utama kelompok ini justru saat mereka berhasil mewawancarai seorang calo tiket. Mengapa bukan angle ini yang dikedepankan di depan paket, dan membalik aksi Directioners menyanyi di bagian akhir? Lead liputan bisa dari mahalnya harga tiket yang hingga sekian ratus persen dari harga resminya.
Miskinnya CG (character generator, teks dalam layar) juga menjadi catatan penting. Tanpa wawancara atau PTC khusus dengan penjual stiker di pipi, kelompok ini bisa menyiasatinya dengan menulis CG misalnya: ‘Marak, Penjual Asesoris Bagi Directioners’.
Kisah liputan
Dalam evaluasinya, mereka merasa cuaca yang kurang mendukung menjadi kendala khusus. “Sewaktu on-cam, air hujan membuat wajah Putri terlihat dekil karena memakai topi, dan rambutnya menjadi seperti bulu kucing yang disiram air,” kata Christine. Mereka berpendapat, hujan yang cukup besar mengharuskan Putri memakai jas hujan, tidak bisa tampil modis di depan kamera. “Padahal seharusnya agar enak dilihat penonton, reporter harus memakai pakaian yang enak dilihat,” sambung Johanna. Sebenarnya, kondisi cuaca yang mengharuskan reporter memakai jas hujan bukan alasan mereka tak tampil ‘modis’. Asal proporsional dan sesuai konteks.
Lobby dan pendekatan khusus mereka patut diacungi jempol, karena semula dihalangi petugas keamanan konser. “Kami sekelompok tidak diperbolehkan masuk oleh satpam karena hanya dianggap ‘wartawan ecek-ecek’. Mereka akhirnya boleh masuk area penonton, meski hanya 15 menit dengan KTP dan KTM disita oleh petugas keamanan.
“Benar-benar menambah pengalaman, apalagi ini pertama kali liputan saat hujan,” kata Putri, yang khusus membeli jas hujan di lokasi. Mereka pun berkesimpulan, ternyata liputan pada saat konser tidak semudah yang selama ini dilihat di televisi. “Hectic-nya luar biasa,” ungkap Christine.
Pesan tegas dari karya mereka: belanja gambar yang banyak, dan siapkan plan A, plan B, plan C dan seterusnya untuk berbagai situasi yang mungkin terjadi. Salut untuk kerja kerasnya!