Benci dan Rindu Sepak Bola Indonesia

Ini sebuah buku, tepatnya kumpulan tulisan, dari seorang yang sepuluh tahun berada di panggung belakang sepak bola Indonesia. Tulisannya ‘renyah’, ‘gurih’, dan ‘basah’.

Mencintai Sepak Bola Indonesia Meski Kusut. Wujud Benci tapi Rindu pada Sepak Bola Indonesia.
Mencintai Sepak Bola Indonesia Meski Kusut. Wujud Benci tapi Rindu pada Sepak Bola Indonesia.

Secara personal, saya tak kenal dengan Miftakhul F.S alias Fim, pria asal Mantup, Lamongan, yang tahun ini genap sepuluh tahun mengabdi sebagai wartawan olahraga di Jawa Pos. Fim hadir di Surabaya, saat saya memutuskan meninggalkan kota itu menuju Jakarta. Sepertinya, kami pernah sekali bertemu dalam jarak cukup dekat, saat berada di ruangan Komisi Disiplin PSSI, mendengarkan keputusan yang digedok Hinca Panjaitan.

Kala itu, saya masih berkarya sebagai jurnalis Radio CVC Australia di Jakarta, status yang membuat saya –tanpa disadari- juga ada di even-even sepakbola besar di mana Fim juga berada, antara lain pagelaran Putaran Final Piala Asia 2007 dan Final AFF 2008 di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan.

Tak kenal secara dekat, bukan berarti saya tak mengagumi Fim. Saya suka tulisan-tulisannya. Di blog, dan juga di Jawa Pos atau Indo Pos. Sejak kecil dicekoki koran milik Dahlan Iskan itu, saya merasa Jawa Pos –terutama halaman olahraganya- bak candu yang sulit ditinggalkan. Dan, Fim menjadi peracik candu agar pembaca koran yang sangat tegas dengan unsur news value ‘proximity’ itu menjadi terus ketagihan. Tulisan itu dikumpulkannya dalam buku 171 halaman berjudul ‘Mencintai Sepak Bola Indonesia Meski Kusut’, dengan kata pengantar ditulis Zen RS dan Bambang Pamungkas.

Mungkin tidak semua tulisan di buku yang dipasarkan secara indie ini ada di versi koran. Yang pasti, tulisan-tulisan itu bercerita tentang sisi lain sepakbola yang tak kita baca di tempat lain. Soal korelasi mistis dan sepakbola Indonesia misalnya, Fim membawa kenangan saat Deltras Sidoarjo menjalani partai hidup mati, play off, demi merebut hak sebagai peserta kompetisi kasta tertinggi.

Hendak bermain melawan Pelita Jaya di Stadion Jalak Harupat, manajer Deltras Saiful Ilah mendapat telepon misterius. Sang penelpon memberi pesan, kalau mau Deltras menang, maka Saiful –yang saat itu juga menjabat Wakil Bupati Sidoarjo, harus makan gado-gado. Tak kenal siapa yang menelpon, Saiful memutuskan mencari gado-gado.

Dari Bandung menuju Soreang, Saiful dan Hadi Sutjipto –humas Deltras berbagi tugas memelototi kiri dan kanan jalan mencari penjual gado-gado. Tapi, sampai tiba di stadion, tak satu pun warung gado-gado ditemukan. Sopir yang mengantar mereka lantas menawarkan diri untuk mencarikannya kembali ke kota Bandung. Dia baru sampai lagi di stadion saat babak kedua mulai bergulir, menenteng dua bungkus gado-gado yang langsung disantap Saiful dan Effendi –sekretaris Deltras di bench pemain.

“Begitu beliau (Saiful) selesai makan, Leandro Braga mencetak gol untuk Deltras di menit ke-70,” cerita Sutjipto. Kisah serupa terjadi lagi saat Effendi –elit PNS di Sidoarjo yang dikenal menjunjung tinggi etika birokrasi- menyelesaikan makan empat menit kemudian. “Sulit dipercaya, tapi begitu Effendi menyelesaikan makan, Deltras mencetak gol lagi (kembali dilesakkan Leandro Braga,” kata Sutjipto. Tak ada gol lain tercipta sampai akhir pertandingan, Deltras menang 2-0.

Pertemanan personal

Fim di Stadion Rizal Memorial, Manila. Saksi kali terakhir Indonesia berjaya di Sea Games.
Fim di Stadion Rizal Memorial, Manila. Saksi kali terakhir Indonesia berjaya di Sea Games. (Foto: FB)

Salah satu kunci keberhasilan jurnalis yakni saat ia bisa menjalin tingkat pertemanan sangat intim dengan orang-orang di lingkaran beritanya. Akses itu yang bisa membuat Fim bercerita dari dalam bus yang membawa pemain Persik pesta juara dari Solo menuju Kediri. Dengan berada dalam bus pemain, ia punya cerita tentang piala tetap Juara Liga Indonesia yang patah bagian atasnya, akibat terjatuh saat bus menikung di kawasan Mantingan, Ngawi. Piala patah yang menimbulkan multitafsir, antara lain karena sebelumnya berlaku ‘mitos’, tim juara Liga Indonesia bakal terdegradasi di musim berikutnya.

Pertemanan personal pula mengantar cerita bagaimana Fim meminta jersey Firman Utina dan Evan Dimas seusai mereka bermain membela timnas. Sebuah permintaan yang berujur getir, terkait buruknya penyediaan kostum timans kita. Jersey Firman copot bagian emblem Garudanya, sementara Evan menolak memberikan usai adu penalti melawan Vietnam di Fianl AFF Cup karena alasan, “Mafa mas, kausnya masih dipakai lagi.”

Kedekatan dengan narasumber kelas atas ini memberi cerita menarik. Juga tentang legenda sepakbola Bambang Pamungkas –yang disebut Fim gaji sebulan Bepe setara gaji setahunnya sebagai wartawan- ternyata pernah berutang uang senilai Rp 30 ribu dalam mata uang Thailand, saat mereka bersama jelang final Piala AFF.

Yang ‘basah’ juga kedekatannya dengan Purwanto, salah seorang wasit terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Bagaimana pengadil asal Kediri yang masa kecilnya bercita-cita sebagai sopir bus itu menelpon Fim untuk curhat terkait vonis kontroversialnya di lapangan. “Bagaimana kepemimpinan saya tadi, Mas? Bagaimana keputusan saya memberi penalti?” Purwanto, wasit nasional sejak 1993 hingga 2009, yang oleh seseorang pernah disebut, “Hanya ada satu wasit di Indonesia yang tak pernah makan uang saya.” Dan wasit yang dimaksud itu adalah Purwanto.

Fim begitu mencinta sepakbola Indonesia. Sampai-sampai, ketika bertugas ke Manila untuk liputan pendidikan, ia sempatkan mampir ke Stadion Rizal Memorial. Di situlah, Indonesia terakhir berjaya di pentas sepakbola senior Asia Tenggara: meraih medali emas terakhir -paling tidak hingga detik ini-di Sea Games, pada perhelatan pesta olahraga Asia Tenggara ke-16, 1991.

Teruslah menulis, Fim, teruslah menceritakan hal-hal kusut di sepak bola Indonesia yang kita benci sekaligus rindukan bersama.

Leave a Reply

Your email address will not be published.