“Jakarta hari ini kuketuk pintu gerbangmu… Ijinkan aku masuk mencari masa depanku…”
(OST Biarkan Bintang Menari, 2003)
10 Juni 2015, Thank’s God, menjadi tonggak satu dekade beradu hoki di kota ini. Untuk merayakan sepuluh tahun berkarya di Jakarta, berikut tayangan ulang tulisan di blog ini, empat tahun silam, dengan sedikit modifikasi. Ditulis saat memperingati enam tahun bekerja di ibukota…
Pertengahan Juni ini, saya merayakan 10 tahun petualangan merantau di Jakarta. Semua berawal pada 10 Juni 2005 tengah hari, saat pesawat Lions Air yang saya tumpangi dari Bandara Juanda mendarat mulus di Bandara Soekarno-Hatta. Di pelabuhan udara nan sesak itu, saya bertemu Agriceli, perempuan yang kemudian hari saya persunting sebagai isteri. Seolah sudah ada yang mengatur, Celi –begitu panggilan wartawati Tempo kala itu, baru saja menunaikan tugas meliput komunitas petani strawberry berbasis iptek di Bali.
Di tengah segala keputusasaan, selalu ada jawaban tak terduga. Berkali-kali melamar ke media ibukota, termasuk mengirim aplikasi dan menjalani tes sehari penuh untukTempo, nasib saya mentok di meja psikotes. Semua berubah saat awal Juni 2005 saya dipanggil, dari status sebagai koresponden Tempo News Room di Surabaya, untuk menjalani orientasi kerja di kantor pusat.
“Kok banyak sekali bawaannya,” kata Celi, saat itu baru dua pekan berstatus pacar, sesampainya di kamar kost, yang sengaja dicarikannya buatku di Jl. Jatayu, Gandaria, Jakarta Selatan. Perempuan Yogyakarta ini kaget demi melihat ransel gunung berisi aneka busana yang langsung membuat lemari menjadi overload. Semua lengkap, mulai kemeja, celana kain, sampai koleksi kaos bola andalan yang belakangan membuatnya jengkel.
“Iya, saya berniat tak akan balik lagi ke Surabaya,” jawabku. Memang, kontrak menjalani tugas orientasi di markas besar Tempo hanya untuk jangka waktu 3 bulan, tapi saya berprinsip, sekali pintu Jakarta telah terbuka, masakan harus ditutup kembali?
Perjalanan panjang
Demikianlah, Juni ini saya berselebrasi merayakan 10 tahun hijrah dari kolam kelahiran menuju samudera petualangan di ibukota. Dari Tempo, berlanjut ke LSPP, Ira Koesno Communications, CVC Espira, UKI, Kominfo, Cosmobikers, Kompas TV, UMN, dan kini berlabuh di CNN Indonesia TV. Ada kisah sedih dalam gagal, dan juga cerita suka dalam ceria.
Kalau ditanya, apa resepnya bertahan di Jakarta selama 10 tahun, saya tak bisa menjawab pasti. Bahwa itu karunia dan jalan dari Tuhan, tentu saja tak bisa dipungkiri. Tapi, suatu saat saya begitu tersentuh dengan baliho koran Kompas saat mempromosikan diri sebagai harian nasional bersuplemen halaman Jawa Timur pada awal 2000-an. Iklan luar ruangan di kawasan Jl. Basuki Rahmat, Surabaya itu berbunyi, “Dalam situasi apapun, Arek Suroboyo dari dulu pantang menyerah.”
Ya, kami, orang-orang Arek yang belakangan juga akrab disebut Bonek, punya gen untuk tak bisa menerima kekalahan sebagai hal lumrah. Tak hanya nekat, kami juga punya iman, kepercayaan diri, kompetensi, dan tentu saja etika dalam berkompetisi.
Dari kamar kost yang kini tertelan kebisingan pertokoan elit Gandaria City, menikah dan pindah ke rumah petak serba mini di lorong Pondok Pinang, berganti kontrakan di belakang Penjara Salemba, hingga kini dikaruniai rumah seken Ciledug dengan cicilan KPR berjangka 15 tahun. Sepasang buah hati menjadi bagian perjalanan kehidupan kami.
Saya belajar dari kegigihan almarhum kakek saya, seorang tukang ledeng yang sampai mendapat order ke Jakarta hingga NTT karena keahliannya. Saya juga menarik spirit pantang mundur dari mendiang Mama, yang sampai menjadi TKW selama 6 bulan di Johor Bahru. Pun juga dari persistensi almarhum Papa, yang selama 30 tahun bekerja di satu perusahaan, sebagai kondektur bis kota Damri, dengan segala pasang-surutnya.
Melewati satu dekade di Jakarta bukanlah akhir segalanya. Tanpa pernah merasa angkuh, dari pagi ke pagi, saya akan terus berdoa, demi mengetuk pintu kampung besar ini…