Menggabungkan Liputan Pra dan Saat ‘Hari H’

Liputan ini berbeda, karena ada wawancara yang dilakukan sebelum Hari H unjuk rasa buruh di 1 Mei.

Aldo, Christina Iddha Maydita, Jesica Suryawaty, Putri Hapsari dan Christine Yapman memilih liputan May Day pada 1 Mei 2015 sebagai materi Ujian Akhir Semester mata kuliah Jurnalistik Televisi Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Yang membuat paket mereka terasa berbeda, karena tak hanya menampilkan reportase Aldo dan kawan-kawan di seputaran Thamrin hingga kawasan depan Istana Merdeka.

Mereka juga mewawancarai Ferry Budiman, koordinator lapangan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI). salah satu elemen yang terlibat aksi pada May Day. Dengan segala effort-nya, kelompok ini menemui Ferry di Mapolda Metro Jaya.

Ada Rieke Diah Pitaloka, anggota DPR, di tengah peserta aksi. Tak hanya nonton di tv.
Ada Rieke Diah Pitaloka, anggota DPR, di tengah peserta aksi. Tak hanya nonton di tv.

Saat sesi live report, Aldo tampil dari beberapa titik terpisah, yakni dari Bundaran Hotel Indonesia dan depan Istana Merdeka. Sayang, karena terkesan ‘lompat-lompat’, dengan diselingi jeda iklan, live report Aldo jadi tak fokus. Ia hanya memberikan laporan pendek-pendek, kemudian pindah ke tempat lain. Dalam situasi riil, agak susah membayangkan seorang reporter yang sama, pindah lokasi ratusan meter dalam selang waktu beberapa menit. Selain itu, laporannya pun jadi kurang dalam. Singkat, dan terburu-buru, “Kembali ke studio…”

Wawancara ‘daging’-nya sebenarnya ada saat Aldo ada di kawasan Istana Merdeka dan berdialog dengan Kusnadi, aktivis buruh asal Tangerang. Semestinya, saat berjumpa seorang ‘tokoh’ seperti ini, jangan terlalu banyak bertanya teknis: “Acaranya selesai jam berapa? Bapak ikut ke GBK atau enggak? Sekarang lagi beristirahat ya?” Seharusnya reporter bisa mengeksplorasi soal ‘ideologi’

Pesan moralnya: untuk menghasilkan jawaban yang cerdas, berilah pertanyaan yang cerdas pula. Jangan pula memberikan pertanyaan tertutup (yang cenderung dijawab pendek misalnya dengan ya, dan tidak).

Proses liputan, kendala, dan solusi

Meliput perjuangan kelas pekerja. Kagum dan salut pada kegigihan buruh.
Meliput perjuangan kelas pekerja. Kagum dan salut pada kegigihan buruh.

Selain menemui Ferry Budiman, Koordinator Lapangan Nasional KSPSI di Polda Metro Jaya, mereka juga ingin mengecek persiapan di kantor KSPSI yang berada di sekitar ITC Cempaka Putih Mas. “Sayangnya, usaha kami sia-sia, karena kami tidak berhasil menemukan kantor KSPSI,” kata Aldo. Di sinilah pentingnya riset dan kontak/akses khusus dengan sumber terkait.

Pada Hari H 1 Mei, mereka mengawali dengan mengambil gambar demonstran dari angle atas untuk menunjukkan betapa crowded-nya aksi massa Mayday 2015. “Pengambilan gambar dari parkiran atas Grand Indonesia bukan hal yang mudah karena kami harus mencari cara menaiki lift karyawan, jugasembunyi-sembunyi dari satpam,” papar Christine Yapman. Mereka berkisah. Pihak satpam dari Grand Indonesia sebenarnya tidak mengizinkan pengambilan gambar demonstrasi dari parkiran. “Untungnya kami ditegur ketika pengambilan gambar selesai dilakukan,” tambah Christine. Well, sebuah proses yang sebenarnya bermasalah dari sisi etika –karena GI merupakan ruang privat dan bukan publik, jadi yang punya gedung berhak melarang. Tapi, untuk effort-nya, boleh juga lah.

Kelompok ini berkisah, selama perjalanan buruh dari Thamrin ke Istana Merdeka berlangsung, mereka berusaha merekam sebanyak mungkin. “Kelebihan dari kelompok kami yakni menggunakan empat kamera, sehingga bisa belanja gambar dengan cukup banyak,” ungkap Puteri Hapsari.

Pengalaman bersama meliput aksi massa. Menghadapi kendala dan mencari solusinya.
Pengalaman bersama meliput aksi massa. Menghadapi kendala dan mencari solusinya.

Dalam liputan sekitar lima jam ini, mereka bersenjatakan kamera DSLR Canon 70 D, DSLR Nikon D7000, DSLR Canon 70D, DSLR Canon 1100D, tripod, smartphone, dan tak lupa tongsis alias tongkat narsis. Beberapa kendala antara lain, kurang kencangnya suara narasumber dengan solusi melakukan back-up rekaman dengan handphone walau pada akhirnya masih kurang kencang dan jelas. Mereka juga merasa kurang fokus pada pengambilan gambar, karena rancangan liputan yang dibuat tidak sesuai-kenyataan. “Solusinya, kami memilah gambar-gambar yang bagus, dan menjadikannya satu alur cerita yang menarik,” kata Jesica Suryawaty.

Toh demikian, mereka mendapat kesan luar biasa dengan meliput langsung aksi May Day. “Kami kagum dengan kegigihan buruh untuk memperjuangkan nasibnya. Letih, lelah, kepanasan memang kami rasa, tapi senang, karena Mayday yang biasa kami tonton di layar kaca, dapat kami saksikan di depan mata,” ungkap Christina Maydita.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.