Di tengah hiruk-pikuk visual yang dipaparkan dalam news package, disertai live report, wawancara, penyiar di studio, CG di layar, semua bermuara pada satu hal: apa sih pesan yang ingin disuarakan dalam berita itu?
Pesan. Message. Itulalah kunci dari sebuah proses komunikasi. Penyampaian pesan dari komunikator (apakah itu komunikator tunggal atau media massa) kepada komunikan sebagai audiens membawa sebuah pesan yang harus dimaknai selaras dengan keinginan sang penyampainya.
Begitupula esensi dari sebuah jurnalisme televisi, yang antara lain terwujud dalam sebuah paket berita. Nina Tri Aulia, Lucky Khaerul, Peter John dan Nathania Anabele bahu-membahu terjun dalam satu kelompok mengerjakan Ujian Akhir Semester mata kuliah Jurnalistik Televisi Universitas Multimedia Nusantara.
Setelah dibuka dengan bumper yang cukup keren, Peter John tampil sebagai host berlatar belakang ‘newsroom’ alias ruang redaksi yang acak-acakan, ada buku, pesawat televisi dan berbagai ornamen lain. Di luar minimnya CG (character generator) atau teks yang seharusnya bisa lebih menjelaskan visual di layar, paket ini dikritik karena beberapa saat ‘vakum’ tak ada narasi di sela-sela footage-nya. Narasi atau VO dalam paket boleh tak ada, kalau saat itu produser ingin menonjolkan natural sound dalam liputan –misalnya teriakan demonstran yang benar-benar catchy. Tapi, saat suara pendemo itu selesai, itupun tak jelas apa yang diteriakkan, masih saja tak ada VO atau dubber berbicara dalam paket.
Masuk ke live report. Ada baiknya, nama reporter ditulis lengkap, jangan hanya satu kata ‘Nina’. Di sini kembali muncul pertanyaan, apa pesan yang disampaikan dalam liputan demo ini. Selain tak ada CG sepanjang paket hanya ada satu teks bertuliskan Hari Buruh: Libur Nasional- tak ada wawancara dengan narasumber, juga tak jelas apa yang disampaikan Nina. Hanya satu pesan yang terdengar jelas bahwa ini merupakan May Day pertama di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Setelah itu Nina menyampaikan, “Para buruh melakukan aksi bukan hanya untuk memperingati Hari Buruh Internasional, tapi juga untuk menyuarakan aspirasinya.” Iya, tapi aspirasi apa yang dimaksud? Sampai Peter menutup siarannya, tak jelas apa message utama liputan ini.
Okelah dalam hal teman-teman mahasiswa masih minim peralatan, bisa dimaklumi. Misalkan soal audio, karena tak ada microphone eksternal, maka memakai perekam dari telepon genggam, sehingga suaranya pun tenggelam, kalah dari teriakan atmosfer pendemo. Tapi toh, pesan liputan tetap bisa disampaikan dalam bentuk lain, misalkan CG, wawancara, atau fokus pada angle tertentu.
Dalam karya ini tak ada pesan menonjol bisa ditangkap audiens, kecuali dari visual: unjuk rasa meriah, meski agak diragukan juga jumlah mereka mencapai 100 ribu orang seperti narasi awal paket ini. Sayang sekali, padahal dari foto (JPG) yang mereka sertakan, ada beberapa jepretan khusus menyorot aksi para buruh pekerja media. Seandainya mereka ini tak hanya diambil gambar, tapi bisa digali lebih dalam isunya.
Kisah peliputan
Tak adanya pesan yang menonjol dalam karya mereka sebenarnya amat disayangkan. Betapa tidak, Nina berkisah, ia dan tiga kawannya sudah berada di sekitar Bundaran Hotel Indonesia sejak pukul 6.30 pagi. “Suasana masih sepi, kami bahkan masih sempat sarapan di warung pinggir jalan,” paparnya.
Begitu peserta aksi berdatangan, juru kamera Lucky Khaerul Fikri langsung bergerak ‘mencari mangsa’, mengumpulkan stokshoots. “Mereka berasal dari berbagai elemen dan organisasi. Ada yang berasal dari media, Serikat Pekerja Nasional (SPN), Komite Persiapan KonfederasiPersatuanBuruh Indonesia (KP-KPBI), dan lain-lain,” kata Lucky. Setelah merasa cukup mengambil gambar, kelompok ini pun mencari seseorang yang bisa untuk diwawancarai. “Setelah beberapa kali melakukan wawancara dengan orang yang berbeda, dan merasa sudah mendpatkan cukup informasi, kami segera melakukan live report,” urai Nathania Anabele. Faktanya, mana wawancara yang dimaksud, kok tak ada dalam paket berita dan live report ini?