Anak-anak selalu berbicara lebih. Pada merekalah jurnalisme dituntut kebijakannya.
Sebuah foto yang beredar luas di media sosial di kalangan warga Filipina sungguh mengharukan sekaligus mengundang decak kagum. Daniel Cabrera (9), bocah pengemis di kota Mandaue, Cebu, Filipina, tertangkap kamera tengah tekun menyelesaikan pekerjaan rumahnya.
Sebagaimana dikutip di rubrik ‘Kilasan Kawat Sedunia’ Kompas (10/7), Daniel tampak duduk dengan wajah serius, bersimpuh di trotoar sambil menulis pada buku yang diletakkan di atas kursi kayu. Ia mengerjakan PR dengan hanya diterangi limpahan cahaya lampu dari sebuah restoran cepat saji.
Aksi Cabrera ini diabadikan kamera Joyce Torrefranca, mahasiswa kedokteran, yang lalu mengunggahnya di akun Facebook miliknya. Mengutip surat kabar The Telegraph, Kamis (9/7), Torrefranca menyebut Cabrera telah menginspirasi dirinya. ”Saya terpacu belajar lebih giat. Saya merasa lebih beruntung memiliki orangtua yang mampu menguliahkan saya,” ujarnya. Sehari-hari Cabrera beserta ibu dan adiknya mengemis di area itu. ”Sepertinya saya ingin menjadi polisi atau dokter,” ujarnya, dikutip situs berita Rappler.
Foto yang diunggah Joyce di laman facebook itu kemudian memacu bantuan dari banyak pihak. Daniel pun semakin mudah mewujudkan mimpinya menjadi polisi setelah bertubi-tubi sumbangan datang. Dari peralatan sekolah hingga beasiswa untuk kuliah. Christina Espinosa, ibu Daniel selama ini hanya mampu mengumpulkan 80 peso atau kurang dari 2 dolar sehari dari pekerjaannya membantu serabutan di sebuah toko kelontong.
Kesedihan atau harapan
Di manapun, gambar atau kisah anak kecil selalu berbicara lebih. Kemiskinan, keberhasilan, atau kisah humanisme anak-anak selalu menyampaikan pesan istimewa. Anak-anaklah, pemilik dunia ini di masa depan, yang selalu menjanjikan seperti apa gambaran dunia, tergantung seperti apa kita ‘membentuknya’.
Yang paling fenomenal tentu foto Kevin Carter yang memenangkan anugerah Pullitzer 1994. Foto yang diambil di Sudan itu sesungguhnya tak sedramatis gambar kelaparan yang dibayangkan. Carter berlutut sekitar 20 menit di depan anak itu. Ia memotret beberapa kali sampai tiba-tiba seekor burung pemakan bangkai hinggap sebagai latar belakang. Carter juga sempat menunggu agar sang burung pemakan bangkai mengembangkan sayapnya untuk mendapatkan foto yang lebih dramatis. Sesungguhnya, orangtua atau kerabat si anak juga berdiri tak jauh dari situ, sibuk meraih pembagian makanan. Seusai memotret, Carter juga sempat mengusir sang burung pemakan bangkai.
Di usia 33 tahun, Carter bunuh diri pada 27 Juli 1994, beberapa pekan setelah meraih Hadiah Pulitzer dengan cara menutup diri di dalam mobil pickup-nya, lalu mengalirkan gas knalpot ke dalam. Ia bunuh diri karena depresi pada kenyataan hidup yang kejam dan keras. Ia mati dihantui kenangan buruk tentang anak yang ‘diciptakan’-nya.
Dan lewat tangan seorang calon dokter, foto optimisme Daniel Cabrera menggambarkan harapan tentang masa depan. Masa depan pada anak-anak, sang pemilik dunia ini.