Aktivis komunitas suporter sepakbola Indonesia berpulang di usia muda. Mewariskan semangat melawan ketidakberesan persepakbolaan Indonesia.

Amat kaget saat sepekan lalu mendapat kabar Panji Kartiko meninggal dunia. Ayah dua anak ini kini berada di peristirahatan abadi Tanah Kusir, Jakarta Selatan, setelah berjuang melawan penyakit lever. Sebuah pesan menyentuh diunggah di akun Facebook-nya 8 September lalu, foto bersama isteri dan dua puteranya, bertuliskan, “Semangat survival ini karena kalian…”
Saya mengenal Panji Kartiko sebagai seorang yang sangat mencintai sepakbola Indonesia. Perkenalan diawali saat memesan sebuah kaos bertuliskan ‘KORUPSSI’ sebagai simbol perlawanan pada PSSI era Nurdin Halid, lalu berlanjut interaksi di dunia media sosial. Sempat pula mengundang mantan Koordinator Pasoepati –kelompok suporter Solo- itu sebagai narasumber di dialog Kompas Petang Kompas TV, untuk topik ‘Mencari Solusi Kisruh Antar Suporter Sepakbola’.
Panji Kartiko mendirikan Media Sepakbola.co, sebuah portal berita sepakbola, yang juruwartanya mayoritas anggota kelompok suporter garis keras. Sebagai sebuah media profesional memang masih jauh dari ideal, terutama dari segi model bisnis, pembiayaan, dan lain-lain. Namun, para ‘jurnalis’ itu bergembira saja, mereka menulis dengan sukarela, dan bahagia bisa menjadikan Media Sepakbola sarana belajar sebagai reporter sekaligus mendapat akses masuk ke pertandingan maupun wawancara tokoh-tokoh bola. Launching portal itu digelar dalam sebuah acara amat sederhana di rumah makan ayam goreng tulang lunak ‘Hayam Wuruk’, di bilangan Gandaria, Jakarta Selatan.
Desember 2011 pagi hari, mas Panji menjemput saya secara khusus ke kantor Kompas TV. Sesuai janji, ia mengundang saya untuk menjadi pembicara pada pelatihan jurnalistik suporter sepakbola di kawasan Puncak. Karena acara sudah dimulai malam sebelumnya –dibuka oleh Ketua Umum PSSI Djohar Arifin, mas Panji turun sendiri dari Puncak, membawa mobilnya ke Palmerah, menjemput saya yang terkantuk-kantuk usai bertugas shift malam sebagai koordinator peliputan daerah.
Sesampai di Puncak, luar biasa, para suporter yang antusias belajar itu ternyata tidak hanya datang dari Jabodetabek. Ada yang dari Jawa Tengah, Yogya, serta beberapa ‘Bonek’ yang menumpang kereta api ekonomi dari Surabaya. Karena saat itu lagi hangat topik seorang ‘Bonek’ meninggal di Sidoarjo akibat perkelahian dengan pendukung Deltras, saya pun menekankan pentingnya ‘jurnalisme perdamaian’ di antara para suporter. Di sini hadir pula Sigit Nugroho, mantan jurnalis senior Bola, yang kini mengubah penampilannya menjadi begitu religius. Sore hari, bersama kawan Atmo dari Aliansi Jurnalis Independen, saya pamit balik. Mas Panji mengantarkan kami hingga kawasan Stasiun Kereta Api Bogor.
Menampung penulis pembelajar

Panji Kartiko membangun Media Sepakbola.co dengan penuh dedikasi. Awalnya, tanpa malu ia mengungkapkan kekagumannya pada Media Independen.com, sebuah portal yang dibentuk belasan anggota AJI setelah kami pulang dari kursus jurnalisme online di Hilversum, Belanda. Berkali-kali ia menegur, membangun semangat anak-anak asuhnya yang tampak mulai ‘malas’ meng-update situs dengan berita baru. “Ayo, kita bisa. Mana tulisannya?” kata pria yang bekerja secara independen sebagai profesional di bidang perbankan itu. Nyatanya, hingga kini Media Sepakbola.co masih aktif mengunggah berita-berita sepakbola terbaru, sementara Media Independen.com –yang sempat kami cita-citakan sebagai pengganti Pantau secara online- justru ‘mati suri’.
Media Sepakbola juga menjadi sarananya untuk memimpikan sepakbola Indonesia lebih baik. Tanpa mafia pengaturan skor, suap, anarkisme di lapangan, serta perseteruan antar kelompok suporter. Meski dekat dengan kelompok yang sukses menggulingkan rezim Nurdin Halid, namun Panji mengaku tetap berusaha menjaga jarak dengan mereka. Posisi dan jabatan bukanlah destinasi dari perjuangannya. “Aku sempat ditawari jadi manajer Persija IPL, tapi enggaklah,” katanya.
Panji Kartiko telah kembali menghadap Sang Pencipta. Menjadi nilai plus, karena ia mewariskan wadah tempat menulis, belajar, dan berinteraksi bagi para pencinta sepakbola Indonesia. Menulis, membawa kita kepada sesuatu yang abadi, sebagaimana Pramudya Ananta Toer punya kutipan, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Selamat jalan, mas Panji, kami akan terus menulis, demi sepakbola Indonesia yang lebih baik…