Selamat Jalan, Kelmi…

Sosok kawan yang unik, ceria dan konsisten dalam kerja kerasnya. Jurnalis CNN Indonesia.com meninggal dunia di usia 37 tahun.

Kelmi di Anfield, Liverpool. Jalan-jalan hadiah juara lomba penulisan musik. (Foto dari Adib Hidayat).
Kelmi di Anfield, Liverpool. Jalan-jalan hadiah juara lomba penulisan musik. (Foto dari Adib Hidayat).

Bicara tentang Kelmi, nama panggilan Helmi Firdaus, adalah bicara tentang malam-malam panjang. Kerap kali kami menghabiskan siang dan sore bersama, tapi lebih sering saat malam berjalan.

Kami tak ketemu di Universitas Airlangga, meski saya yang masuk Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP pada 1995 sebenarnya tak jauh dengannya sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi angkatan 1997. Perkenalan dan kebersamaan banyak kami habiskan di tepi Lapangan Karanggayam, Surabaya, menyaksikan anak-anak muda nan kaya raya saat itu, para pemain Persebaya, berlatih dan bertanding. Selain Kelmi yang saat itu jurnalis Surabaya Post dan saya sebagai koresponden Tempo, gank kami antara lain: Amar Hamsyah dari tabloid olahraga Maestro yang kini ada di kantor Menpora, Billy Kompas yang kini jurnalis jagoan di KPK, Maruf El Rumi Jawa Pos yang kini di Koran Sindo dan rajin jadi komentator bola di MNC Group, serta Nanang Prianto Jawa Pos yang kini jadi Wapemred di medianya.

“Datanglah ke sini, tempat biasa, depan Tunjungan Plaza. Ada Kelmi juga,” telpon Billy Kompas malam itu, 23 Desember 2004. Kami baru saja melewatkan hari yang panjang, menjadi saksi Persebaya juara Liga Indonesia melalui pertarungan nan melelahkan dengan kemenangan 2-1 atas Persija di Stadion Gelora 10 November, Tambaksari. Partai ‘final’ dalam kompetisi 2013/2014 itu sempat tiga jam tertunda karena hujan deras mengguyur Surabaya.

Grafis terakhir Kelmi untuk CNN Indonesia. Totalitas kerja.
Grafis terakhir Kelmi untuk CNN Indonesia. Totalitas kerja.

Selepas merampungkan tulisan untuk media masing-masing, kami melepas penat, bercanda, dan tertawa lepas. Termasuk membicarakan seorang tokoh sepakbola, yang dengan kompak kami curigai memiliki skenario –tepatnya grand desain- hitam putihnya persebapakbolaan Indonesia. “Jangan-jangan bapak itu memiliki daftar di kantongnya, klub mana yang akan jadi juara Liga Indonesia sampai tahun 2020… hahaha…”

Selanjutnya, nasib dan peruntungan melepas kami masing-masing. Cukup kaget bercampur gembira saat dua tahun kemudian mendengar kabar Kelmi menyusul ke Jakarta. Hijrah ke Koran Sindo, masih dengan tertawa ia bercerita tentang kondisi kantornya, tentang bosnya yang penggemar Arsenal, dan tentang “palsu-palsu” –istilah ini sering terucap dari mulut pria asal Lamongan itu- lainnya.

Beberapa kali Kelmi meminta nama saya sebagai pemberi rekomendasi aplikasi beasiswa, entah itu ke Inggris atau Amerika. “Sudah, susun dan tulis sendiri rangkaian kalimatnya, nanti kirim email, saya tinggal tandatangan,” kataku, menyadari sesungguhnya bahasa Inggrisnya jauh lebih jago. Sayang, permohonan beasiswanya tetap belum tembus, meski ada juga yang sempat sampai ke tahapan ‘nyaris’.

Kopimania

Tapi, itulah garis hidup. Tak jadi belajar ke luar negeri, Februari 2015 Kelmi justru diterima di CNN Indonesia.com. Kami satu bendera, tapi beda atap. Gayanya masih saja, pekerja keras, dan tertawa dalam banyak hal. Di sebuah malam panjang ia bercerita, pada hari-hari awalnya bekerja sebagai editor media online, Kelmi menulis kalimat dalam berita CNN Indonesia yang disuntingnya: “Udah Naik, Bos”. Dimaksud sebagai kode, tetapi justru kalimat itu muncul sebagai judul berita. Sang narasumber, seorang politisi besar negeri ini marah dan menelpon redaksi, “Apa-apaan itu beritanya?” Alhasil, besok siangnya, dua jam ia mendapat ceramah dari sang wapemred. “Dalam hati, aku membatin, wah bakal dipecat nih, Jo,” cerita penggemar kopi ini.

Kegemaran akan kopi pula membawanya pada tingkah usil. Seorang reporter baru yang bermaksud berkenalan dengannya, malah dimintanya ke dapur kantor untuk membuat dua gelas kopi. Setelah pesanannya jadi, Kelmi menegaskan ia tak bermaksud memplonco, “Nah, mari sekarang kita ngopi bareng…”

Peristirahatan terakhir Kelmi di Lamongan. Selamat jalan, dulur... (Foto: FB Bukik Setiawan)
Peristirahatan terakhir Kelmi di Lamongan. Selamat jalan, dulur… (Foto: FB Bukik Setiawan)

Kami juga ada di Grup WhatsApp yang sama, sebagai pendukung Liverpool FC. Satu hal membuat iri, karena ia sudah pernah menginjakkan kaki di kotanya The Beatles itu, sebagai hadiah juara lomba penulisan konser musik Soundrenaline. Mengenang kepergian Kelmi, Pemimpin Redaksi Rolling Stones Adib Hidayat mengunggah foto Kelmi di UK, dengan keterangan: “Foto @helldaus yang saya ambil saat sama-sama meliput keliling London, Liverpool, Abbey Road tahun 2008. Ingat jam 12 malam kita keliling Oxford, London makan bahas hidup dan Rock & Roll…”

Sebulan terakhir, kami anggota grup itu memprakarsai petisi menuntut pemecatan Brendan Rodgers sebagai manajer LFC. “Saya ingat, Kelmi sangat bersemangat mendukung petisi itu,” kata Emerson Juntho, aktivis anti korupsi yang menjadi penggagas petisi melalui Change.org

Sehari setelah Idul Adha, Kelmi terjatuh di depan kontrakannya di Rawa Belong. Ia masih sempat menelpon isterinya yang tinggal di Cengkareng, “Aku stroke, aku lumpuh…” Tak sampai sejam, ambulance dan isterinya datang, membawa ke RS Medika Permata Hijau. Sehari berselang, operasi mengeluarkan 60 cc gumpalan darah di otaknya sebenarnya berlangsung sukses. Tapi, Minggu pagi, kondisi Kelmi menurun drastis dan berpulang kembali ke Sang Pencipta. Langsung diterbangkan dari Soetta ke Juanda, Minggu sore Kelmi berada di pembaringan abadi di Desa Made, Lamongan, diantar kawan-kawan dekatnya, termasuk pemimpin redaksi CNN Indonesia.com, Yusuf Dalipin.

Lihatlah keceriaannya di video ini:

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150927111559-24-81181/salam-terakhir-editor-cnn-indonesia-helmi-firdaus/

Selamat jalan, Kelmi, selamat meninggalkan aneka ‘palsu-palsu’ di dunia ini. You’ll Never Walk Alone…

Leave a Reply

Your email address will not be published.