Satu lagi gaya berkomunikasi Presiden Jokowi jadi bahasan. Nyleneh, unik, dan memancing untuk ‘digebuki’.
http://www.youtube.com/watch?v=eEpcLov5954
Ini bukan isu baru. Tapi beneran, saya baru tahu kemarin ada adegan dan video ini. Kudet (kurang update) banget ya? Tapi, gak papa deh, yang penting bagaimana mengambil fenomena itu dan menariknya dalam kajian komunikasi politik. Langsung saya jelajahi berbagai laman youtube untuk melihat peristiwa ini secara cermat.
Kejadiannya, 27 Oktober lalu, saat Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) tampil di acara the Center for East Asia Policy Studies di Brookings Institution, sebuah wadah pemikir Amerika Serikat yang berkantor pusat di Embassy Row di Washington, D.C. Video lengkapnya, yang diunggah resmi oleh penyelenggara acara, ada di sini.
Setelah membacakan teks sambutan dalam Bahasa Inggris, ada tiga pertanyaan dialamatkan untuk Presiden Jokowi. Pertanyaan pertama dilontarkan oleh pembawa acara tentang sikap Indonesia terhadap China untuk mengatasi friksi dan bahaya politik China. Jokowi sukses menjawab dengan lugas.
Kemudian muncul dua pertanyaan berikutnya. Pertama dari James Cassel, CEO Cassel Asia yang menanyakan mengenai pembangunan infrastruktur dan sektor pembiayaannya dari swasta. Pertanyaan panjang dari Cassel kemudian dijawab oleh Jokowi dengan singkat, menjadikan suasana pun lebih santai dengan diwarnai gelak tawa.
“I want to test my minister, please answer the question,” kata Jokowi.
Pertanyaan itu dijawab pendek oleh Menteri Perdagangan Indonesia Thomas Trikasih Limbong. Pria yang hidupnya banyak beredar di luar negeri dan tamatan jurusan Arsitektur-Tata Kota dari Universitas Harvard ini menjalankan arahan Jokowi yang berpesan, “Don’t speak longer than my speech”.
Setelah dijawab sempurna, pembawa acara sedikit memberikan komentar, “Mr. President I was impressed with this exchange at how good of head chief executive you are. You know how to delegate responsibility without giving up power. Bapak Presiden, saya terkesan dengan pendelegasian ini, pada seberapa bagus anda sebagai pemimpin. Anda tahu bagaimana untuk mendelegasikan tanggung jawab tanpa menyerahkan kekuasaan.”
Pernyataan ini disambut tawa, termasuk Jokowi.
Kemudian pertanyaan kedua muncul dari David Marel, yang menanyakan strategi kerjasama antara Indonesia dan Amerika ditinjau dari kerjasama masyarakat sipil. Kembali Jokowi menyerahkan untuk dijawab oleh Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi.
“I want to test again my foreign minister, please answer,” kata Jokowi.
Menteri luar negeri perempuan pertama dalam sejarah Republik Indonesia itu maju ke depan dan menjawab singkat. Problem solved.
Out of the box
Saya tak akan mengomentari dalam kerangka sebagai fans or haters Jokowi, tapi dalam frame Ilmu Komunikasi, disiplin ilmu tempat saya berkubang. Jokowi ini sosok fenomenal, out of the box, dalam urusan praktek komunikasi verbal. Jauh sebelum jadi presiden, ia selalu berkata, “Gak mikir, gak mikir,” saat dikejar apakah sebagai Gubernur DKI Jakarta akan maju sebagai kandidat dalam Pemilihan Presiden 2014.
Dia diketawakan, dan videonya diparodikan, saat berkali-kali bicara, “We are waiting for you, to invest in Indonesia…” dalam konferensi APEC di Beijing tahun lalu, hanya beberapa hari setelah pelantikannya sebagai presiden ketujuh Indonesia.
Jokowi bicara dalam kepolosannya, terlepas kemudian orang mengejek kemampuannya dalam berbahasa Inggris. Dalam video di Brookings di atas, jelas sekali Presiden Jokowi ditawari menggunakan headset alat bantu penerjemah bahasa, tapi ia menolak.
Jokowi bukan seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang kemampuan bahasa Inggrisnya nyaris sempurna, dan sering bercuap ala gado-gado, dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. Seperti saat pembukaan perdagangan awal tahun di Bursa Efek Indonesia, 3 Januari 2011.
“Dalam melakukan evaluasi, kita harus merujuk pada parameter dan ukuran yang jelas. Correct measurement,” kata SBY.
“Pemulihan ekonomi untuk menjaga kesejahteraan rakyat, atau dengan bahasa bebas saya katakan, minimizing the impact of the global economic crisis,” ucap SBY yang ketika menjadi Menkopolkam pada 2003 pernah mendapat penghargaan sebagai pejabat negara berbahasa lisan Indonesia terbaik itu.
“Insya Allah tahun 2010 ini kita bisa mencapai (pertumbuhan ekonomi) enam persen, close to six percent,” kata SBY saat itu.
Presiden Jokowi juga tak memiliki staf penerjemah khusus. Seperti mantan presiden Soeharto yang punya orang kepercayaan (alm.) Widodo Sutiyo, pegawai karir Departemen Luar Negeri. Setelah 30 tahun mendampingi Soeharto di berbagai acara internasional, Widodo bertugas menjadi Duta Besar Indonesia di Vatikan.
Langkah Jokowi ‘mengetes’ secara mendadak menterinya di Amerika ini memang menjadi sorotan. Apakah dia tak bisa menjawab? Apakah dia kurang bisa berbahasa Inggris? Atau, jangan-jangan, di situlah kelihaian Jokowi: berbagi tugas dengan yang ekspert, dan membiarkan orang-orang kepercayaannya langsung menjawab pertanyaan sesuai keahliannya.
Karena tugas seorang pemimpin atau manajer yang baik bukan harus paham dan menguasai segala sesuatu. Tapi, bagaimana ia bisa memiliki orang-orang kepercayaan yang berperan nomor satu dalam menyelesaikan segala sesuatu itu.