Drone Journalism menjadi ‘genre’ baru dunia jurnalistik saat ini. Bicara soal drone, tak bisa tidak, nama Bobby Gunawan mesti disebut.
Saya mengenalnya lebih dari satu dekade lalu, saat kami sama-sama berjuang sebagai kontributor Tempo News Room. Bedanya, saya di Surabaya, Bobby di Bandung. Di luar penampilannya yang apa adanya dan acak-acakan layaknya aktivis ‘underground’, konon Bobby sempat ditegur redaktur karena jarang menyematkan ikat pinggang di celananya, pria ini seorang yang amat tangguh dalam bekerja. Bobby juga vokal memperjuangkan nasib sesama kontributor Tempo yang antara ‘butuh dan tak dibutuhkan’ di Velbak, kantor pusat kami saat itu.
Tapi, ia kemudian menemukan ‘jodoh’ karirnya di televisi. Saat sama-sama bertugas meliput bencana tsunami di Banda Aceh, ia sudah berstatus Video Journalist TransTV. Suatu malam kami berkeliling kota, sebagai kontributor Tempo yang dikirim ke Aceh saya menumpang mobil TransTV, dari Lampineung hingga rumah dinas gubernur suasana masih amat mencekam. Itu sudah tiga pekan pasca tsunami.
http://www.youtube.com/watch?v=9YFjqHrKfnA
“Begitu bermigrasi dari cetak ke televisi, yang pertama saya lakukan adalah belajar kamera. Hingga akhirnya saya ketagihan, dan oleh bos, saya dicemplungkan ke situ,” kenang mantan wartawan radio di Bandung ini. Bobby pun menyitir ungkapan Riza Primadi, mantan bosnya di Tendean, “Jurnalisme televisi itu 30 persen jurnalisme dan 70 persen teknis.” Selain di TransTV, Bobby bersama Riza Primadi di Astro, tv berita asal Malaysia di kanal berbayar.

Beberapa tahun di TransTV dan Astro Awani, melompatlah Bobby menjadi jurnalis televisi Al Jazeera perwakilan Indonesia. Karirnya makin moncer. Tak terhitung penugasannya ke mancanegara, untuk training ataupun meliput peristiwa-peristiwa besar. Apalagi saat berkembang yang namanya drone journalism. Bobby menemukan passion-nya di sana, menekuni karir sebagai ‘pilot’ drone, dan menjadi salah satu referensi penting ilmu baru jurnalisme ini. Seperti dibagikannya di forum Festival Media 2015 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di kampus Atmajaya, Jakarta, 14 November.
Berbicara tentang drone journalism, Bobby menjadi salah satu magnet festival. Kelasnya terisi penuh, lebih dari 50 peserta, sebagian di antaranya menyimak materi sambil berdiri. Cara ia membawakan materi tak menjemukan, karena langsung berbagi kisah praktis, sembari menunjukkan ‘showreel’ karya-karya jurnalisme televisi menggunakan drone.
Bobby menegaskan, perspektif jurnalisme televisi adalah ‘perspektif motion’. Semakin banyak motion (visual cantik) akan semakin bagus, mata pemirsa tak akan bosan. “Dan drone menghasilkan semua itu,” ungkap salah seorang tokoh ‘langit.tv’ ini. Banyak karya Bobby dan kawan didiknya dipajang di situs yang menamakan diri ‘first aerial tv’ itu. Beberapa televisi bekerjasama dengan ‘Langit TV’ untuk produksi gambar melalui drone, seperti saat program NET Mudik, dan juga siaran langsung sepakbola seperti Final Piala Presiden dan Piala Jenderal Sudirman.
Pria yang sempat bergabung dengan tim SAR Bandung semasa SMA ini menekankan beberapa prinsip drone journalism, yakni ‘fly safe’, ‘fly responsible’ dan ‘fly with attitude’. Keamanan menjadi kunci penting, bukan hanya bagi alat, tapi juga bagi keselamatan manusia yang dilintasi drone. Karena itu, Bobby mencontohkan, ia tak bisa banyak mengambil visual saat ditugaskan meliput demo massal di Hongkong tahun lalu. “Saya berhitung besar resiko saat itu,” kisahnya, mengingat ‘umbrella movement’ untuk menggulingkan Leung Chun-ying.
Drone dan etika
Bagaimana etika menerbangkan dan mengambil gambar sebagai pilot drone? Bagi Bobby, selagi kepentingannya untuk investigasi yang bermanfaat bagi kepentingan publik, go ahead. “Kalau untuk ambil gambar kebakaran lahan harus izin ke sana ke mari dan makan waktu berhari-hari, kapan kita bisa mengungkap kebakaran hutan itu?” dalihnya.
http://www.youtube.com/watch?v=Wx6QPaExvDQ
Bobby mengakui, hingga pertengahan tahun ini, Indonesia dianggap sebagai ‘sorga’ bagi para droners. Hingga keluarlah Peraturan Menteri No. 90/2015 tentang Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara yang Dilayani Indonesia. Beleid yang ditandatangani Menteri Perhubungan Ignasius Jonan 12 Mei 2015 itu antara lain mengatur: sebuah pesawat tanpa awak alias drone hanya boleh terbang maksimal 150 meter, di luar obyek vital, dan wajib memiliki izin dari Dirjen Perhubungan Udara saat terbang mengambil gambar.

Meski sebelumnya memiliki kenikmatan hingga terbang ratusan meter di atas Bundaran Hotel Indonesia dan kini peraturan membatasinya, Bobby setuju dengan adanya regulasi seperti ini. “Bagaimanapun udara adalah milik publik, jadi semua harus ada aturannya. Apa yang terjadi jika begitu banyak drone beterbangan tiap hari di kawasan vital Jakarta?” papar pria yang oleh komunitas pilot drone sempat disebut sebagai ‘kuncen Bundaran HI’ karena hobbynya terbang di area ikon Jakarta itu. “Maklum, kantor saya kan di kawasan Imam Bonjol, di depan Bundaran HI,” ungkapnya.
Bobby bercerita, untuk mengambil gambar dari atas, dulu beberapa stasiun televisi rela menyewa helikopter senilai 3.000 dolar AS per jam. Sejak hadirnya drone, mereka beralih menyewa drone dengan biaya sekitar Rp 25 juta per hari. “Tapi kini, dengan harga drone mencapai Rp 20 jutaan, banyak sih yang sudah punya sendiri,” katanya.
Satu prinsip utama yang harus dipegang oleh para droners yakni ‘Safety’. “Tidak boleh terbang kalau bahaya!” tegas Bobby.