Kelompok ini menyajikan program berita yang ringkas, padat, dan straight kepada apa yang dibutuhkan pemirsa.
Sekilas, nama project mereka ‘Buletan News’ seperti bercanda. Namun, ternyata dalam karya akhir mata kuliah Produksi Televisi Universitas Multimedia Nusantara ini, Petrus Tomy, Dinda Rahayu, Anthony Dennis, Patricius Dewo, Livani Putri, Faris Dzaki dan Aretyo Jevon menunjukkan kesungguhannya. Mengusung tagline berita inspiratif, aktual dan terdepan dalam Buletan News dengan visi ‘meluruskan fakta, membulatkan cerita’, mereka menampilkan rangkaian beritanya tanpa banyak basa-basi.
Masukan atau kritikan pertama untuk karya ini yakni VO (voice over) di item pertama soal mundurnya Setya Novanto sebagai Ketua DPR. Ditampilkan pernyataan Novanto yang disampaikan di rumah dinas. Menjadi pertanyaan, itu footage siapa? Kalau diambil dari media lain, penting untuk menghargai hak cipta, harus ditulis di sudut kanan atas, gambar itu courtesy siapa. Tapi, kalau memang kelompok ini sendiri yang merekam visual kedatangan dan kutipan (SOT, sound of tape) Novanto, wah, betapa eksklusifnya. Jika benar karya sendiri, harus disertai dong PTC (piece to camera) atau LOT (live on tape) reporter di depan rumah dinas Ketua DPR di kawasan Widya Chandra, itu.
Untuk topik live report dari pelaksanaan Festival Media Aliansi Jurnalis Independen, pujian disampaikan karena mereka fokus pada satu angle tertentu, dalam hal ini kerja jurnalis Aceh di bawah baying-bayang hukum syariat. Kalaupun ada kekurangannya, coba perhatikan saat Tomy melempar ‘toss’ pada Dinda untuk live report. Tampak Dinda belum dipersilahkan untuk live, tapi sudah komat-kamit duluan. CG atau chargen yang menyertainya pun dibuat update sesuai apa yang disampaikan Tomy, meski seharusnya bisa dibuat lebih sering lagi, seperti saat item wawancara Dinda dan Ihsan. Perlu olesan sedikit untuk sinkronisasi visual dalam pasca-produksi (editing).
Kritik lain, ya penggunaan sapaan ‘Mas’ yang dipakai Dinda pada narasumber Ihsan sebagai jurnalis Aceh. Sebutan ‘Mas’, ‘Bang, atau ‘Pak’ kurang menunjukkan kesetaraan antara reporter dan narasumber, sebaiknya sebut namanya langsung atau pakai kata ‘Anda’. Selain itu, biasakan ambil ‘one shot’ saat narasumber bicara.
Bukan kerja solo
Segmen dua yang mendialogkan perkembangan film Indonesia lumayan keren karena disertai footage memadai. Masukan untuk segmen dialog masih sama, kurang memfokuskan ‘one shot’ dan ‘group shots’ saat menyorot antara anchor dan narasumber yang bicara. Pastinya dialog ini tidak menggunakan satu kamera saja, kan?
Selain chargen yang sepi, ada hal-hal konten yang belum terjelaskan dalam perbincangan ini. Misalnya, apa sebenarnya makna ACK dalam nama tim mereka? Juga, belum semua pemirsa tahu apa itu ‘Ajisaka Film Award’. Jelaskan dong, seperti apa dan seberapa bergengsinya anugerah film yang digelar Universitas Gajah Mada Yogyakarta itu.
Di segmen tiga, bagus sih gambar-gambar cantik dalam feature kedai ‘Jakarta Ladang Kopi’. Tapi ya itu, selain miskin CG, coba cek lagi soal komposisi warna saat pengambilan gambar. Tampak sekali ada jumping visual pada bagian awal, terutama pertengahan dan wawancara ‘Ngopi Yuk!’, serta kembali normal di akhir feature ini. Perhatikan prinsip penyetelan white balance pada kamera ya.
Mereka menegaskan, kerja kru televisi bukanlah one man project. Dari anchor, reporter, produser, juru kamera sampai periset dan editor, semua punya peran penting, “Kerja tim kami sungguh luar biasa, mengingat semua anggota memang berkompeten sesuai dengan peran yang mereka pegang,” kata Aretyo.
Selain itu, prinsip kerja tim ‘Buletan News’ yakni satu orang bertanggung jawab atas satu berita. Artinya, peran yang tadi disebutkan masih ditambah sebagai penanggung jawab setiap paket berita yang ada. Faris bertanggung jawab atas berita politik, Tyo bertanggung jawab atas berita olahraga, dan sebagainya.
“Pada intinya, memang pengerjaan program berita ini, setiap dari kami memiliki ide yang berbeda-beda. Tetapi, dengan kerjasama tim yang menurut kami cukup baik, akhirnya jadilah Buletan News,” kata Dewo.