Transcendence dan Hidup Sesudah Mati

Transcendence (2014), film yang bercerita dari berbagai aspek: teknologi, futuristik, hubungan suami-isteri satu profesi, dan ada pula perspektif kehidupan setelah kematian.

Seorang jurnalis, atau siapa saja yang ingin terus mengembangkan pikirannya, disarankan untuk rajin nonton film. Tentu bukan sembarang film, tapi sinema yang mampu mengasah logika dan rasa.

Mungkin saya terlambat menyaksikan Transcendence, film produksi Alcon Entertainment dan didistribusikan Warner Bross. Thank’s untuk teknologi HBO on Demand pada Indihome Useetv yang memungkinkan dapat menikmati film berdurasi hampir dua jam ini.

Masuk dalam genre science fiction, Transcendence diharapkan menarik magnet dari para penggemar Johnny Depp. Generasi 90-an mengenalnya melalui film seri televisi ’21 Jump Street’. Di Transcendence, Depp bermain sebagai aktor utama: doktor Will Caster yang mengembangkan PINN, sebuah teknologi komputer canggih dan mampu melampaui otak manusia. Will menjadi terkenal karena penelitiannya ini, namun hal juga menjadikannya target ekstrimis anti-teknologi. Setelah acara seminarnya, Dr. Will Caster ditembak oleh salah satu aktivis yang membuatnya kritis.

Evelyn Caster, istri Will sekaligus kolega sesama peneliti, diperankan dengan ekselen oleh Rebecca Hall dan sahabatnya Max Waters (Paul Bettany) memutuskan untuk mentransfer isi otak Dr. Will Caster ke dalam teknologi yang ia ciptakan sendiri.

Ternyata, ketika istrinya mengecek komputer dan menganalisa suaminya, dia terkejut karena ‘kesadaran’ suaminya masuk ke dalam komputer, Proses memindah (menitis) telah berhasil, suaminya bisa ‘hidup’ dalam komputer. Teman kerja Evelyn dan sahabat dekat Will Caster tidak setuju dengan hal ini. Dia berangggapan itu tidak mungkin, dan meminta Evelyn men- ‘shutdown’ sistem yang ada, namun Evelyn tak mau. Dr Will Caster yang ada di komputer meminta Evelyn untuk menghubungkan komputer di ruang itu ke jaringan internet dan pasar saham. Dan, Program Will Caster menyebar keseluruh dunia seperti virus, lebih menyeramkan lagi, program itu selalu belajar (machine learning).

Kontemplasi dari Transendensi
poster1Saya bukan orang yang ‘complicated’ dan paham teknologi informatika atau bidang sains lainnya. Sebagai ‘orang sosial’, menarik melihat film ini dari sisi humanis. Bagaimana tiba-tiba Will –yang sudah meninggal dunia dan abunya disebar ke telaga- mewujud dalam bentuk virtual. Di situ ia bisa berbicara ‘real time’ melalui percakapan komputer dan mengetahui kondisi isterinya. Memahami kesulitan apa yang dihadapi partner hidupnya.

Bahkan ‘mereka’ kemudian membangun sebuah proyek besar, super komputer bawah tanah, di sebuah kota mati bernama Brightwood.

wi
Will Caster yang sudah tiada mewujud kembali. Kisah di luar batas manusia.

Klimaksnya, saat Will virtual ini, dengan bantuan quantum profesor, sukses meregistrasi sel sehingga ia bisa berwujud nyata. Bisa diraba, disentuh, dan dipeluk. Akhirnya, mereka pun benar-benar ‘meninggal selamanya’ berdua dalam pelukan bersama, dan dimakamkan dalam satu taman, yang mengakhiri film ini dengan monolog “He created this garden for the same reason he did everything. So they could be together.”

Bayangkan ketika dunia ini benar-benar melampaui batas, sesuai translasi dari ‘transcendence’. Seandainya teknologi, atau kekuatan apapun itu, mampu membuat manusia melakukan komunikasi dengan mereka yang sebenarnya sudah tiada. Bayangkan jika Anda tiba-tiba menerima email, pesan BBM, Whats App, Line, Facebook, atau bisa ber-skype dengan mereka yang sudah ‘lewat’. Dan keintiman itu ternyata masih ada. Real time…

Jika komunikasi transendensi itu bisa diwujudkan, dengan siapa Anda ingin melakukannya?

Leave a Reply

Your email address will not be published.