Ala bisa karena biasa. Jam terbang dan pengalaman memegang peranan penting dalam menghasilkan karya yang lebih baik. Tapi, kuncinya, jangan pernah berpuas diri. Perbaiki kekurangan yang ada.
Saat mereview peliputan peliputan fenomena gerhana matahari karya Vivi Melyan, Andreas Fan Cristian, Daniel Cahyadi dan Kelvin Layzuardy, secara tak sengaja saya menemukan ‘portofolio’ mereka yang lain. Di kanal youtube, ternyata kelompok ini pernah secara khusus mewawancarai Dahlan Iskan, tokoh pers yang juga pernah menjabat Menteri BUMN di Lapangan Monumen Nasional, di sela-sela Dahlan melakukan aktivitas senam pagi hariannya. Saat itu, mereka mengejar Dahlan untuk tugas Sejarah Jurnalistik dan meminta Dahlan berkisah tentang pengalaman serta cerita-ceritanya mengenai perjalanan jurnalistik di Indonesia, dengan wawancara berlangsung cair dan nyaris tanpa grogi. Betapa sebuah effort yang kuat untuk mengejar sebuah tokoh ternama.
Karena itu, dalam peliputan gerhana matahari ini, mereka bertiga –minus Kelvin yang tak ikut bergabung ke Cikini- juga mendapatkan ‘tokoh’ dalam peristiwa ini, yakni Cecep Nurwendaya, seorang astronom di Planetarium Jakarta.
Masukan khusus dalam karya mereka, selain diakui sendiri oleh mereka terkait audio yang kurang bagus, juga ada beberapa input lain. Saat Vivi PTC di tengah paket misalnya, seharusnya ia tak perlu menyebut “Saya Vivi Melyan melaporkan langsung dari Jakarta Pusat.” Pertama, karena namanya sudah tertulis di CG dan kedua, karena PTC itu bukan di akhir paket. Kalaupun sudah terlanjur terucap, baiknya diedit saja.
Input lain, ingat Jakarta tidak mengalami Gerhana Matahari Total, tapi hanya Gerhana Matahari Sebagian. Sesuaikan konteks dengan narasi liputan. Sekali lagi inilah pentingnya riset. Selain itu, seharusnya paket ini bisa membuat Chargen/CG muncul lebih sering.
Catatan peliputan
Setengah empat pagi, mereka sudah sampai di planetarium dan langsung mengantre untuk mendapatkan kacamata khusus dan bingkisan dari pengelola planetarium. Antrean sudah cukup panjang karena masyarakat mengetahui bahwa kacamata khusus dan bingkisan yang dibagikan terbatas. “Selain ikut mengantre -yang berbuah sukses mendapatkan kacamata serta bingkisan, kami juga merekam antrean masyarakat yang mengular di sekitar Taman Ismail Marzuki. Termasuk melihat warga negara asing serta masyarakat yang menginap serta di Planetarium,” papar Vivi.
Mereka pun mencatat beberapa kekurangan liputan ini. Misalnya, kerumunan yang ramai membuat suara Vivi kurang terdengar jelas karena mereka tidak memiliki mikrofon untuk merekam suara secara langsung. “Selain itu, kurangnya pencahayaan karena masih masih subuh membuat liputan LOT tidak terlalu terlihat jelas. Kami tidak memiliki peralatan yang mendukung liputan seperti lampu penerangan tamahan dan mikrofon sehingga hasil LOT kurang maksimal,” urai Daniel.
Andreas pun berkisah pengalaman mereka mewawancarai narasumber astronom Planetarium dan Observatorium Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Cecep Nurwendaya. “Wawancara dilakukan di daam ruangan yang sangat padat dan ramai. Selain itu, wawancara pun dilakukan dengan terburu-buru karena Pak Cecep Nurwendaya akan diwawancarai secara live di SCTV,” tuturnya. Toh, mereka sukses mendapatkan Cecep yang juga menjadi kejaran wartawan media mainstream saat itu.