Notice: Undefined index: host in /home/jojr5479/public_html/wp-content/plugins/wonderm00ns-simple-facebook-open-graph-tags/public/class-webdados-fb-open-graph-public.php on line 1020

Terlalu Banyak Pilihan, Terlalu Banyak Jualan…

Dalam sebuah topik liputan general, kita bisa menemukan banyak angle. Penting untuk memilih dan memilah yang terbaik untuk disajikan secara ‘istimewa’ kepada pemirsa.

Pada liputan Aksi Hari Buruh kali ini, Dea Satriani, Chintya, Lucia Vania, Muhamad Farid Hardika dan Rina Ayu Larasati mendapati fenomena seperti itu. Masuk ‘rimba belantara’ salah satu ajang unjuk rasa tahunan terbesar, mereka tampak kikuk untuk memprioritaskan mana yang sebaiknya diangkat sebagai jualan utamanya.

Padahal, kalau mau memilih, ada beberapa opsi yang bisa diambil ‘salah satu’ ya. Saat paket pengantar untuk live di Journews TV, mereka menyajikan aksi dari Buruh Migran. Komunitas ini sebenarnya bisa diangkat tersendiri. Selain itu, tim ini mendapatkan satu sosok news value yang amat prominent. Mereka mendapat soundbyte dari Said Iqbal, tokoh buruh sekaligus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Angle penting ada dari kutipan Said yang menyatakan dideklarasikannya ormas buruh ‘Rumah Rakyat Indonesia’. Hal ini saja sudah cukup untuk dikulik mendalam: apa itu Rumah Rakyat Indonesia, berapa anggotanya, apa ideologinya, apakah bakal menjadi partai pada Pemilu 2019, dan lain-lain.

Sayang, belum mendalami beberapa isu itu secara khusus, mereka sudah meloncat lagi ke seorang Iwan Kusmawan, demonstran lain di DPR. Belajarlah fokus, ambil sebuah topik penting dan kuatkan eksplorasi di situ. Semakin spesifik sebuah informasi yang diberikan, semakin kuat ingatan akan pesan tertancap di benak pemirsa sebagai komunikan. Daripada terlalu banyak pilihan yang disajikan, dan malah tak terkenang sama sekali di ingatan audiens.

Di luar sesi liputan, penampilan Dea sebagai pembawa acara cukup matang. Sayang, perpindahan gambar dari satu kamera ke kamera lain tergolong kurang ‘smooth’. Penyajian grafis juga terlalu panjang, kurang sederhana, serta membosankan karena durasinya amat lama.

Pasukan live kelompok ini cukup ‘menjanjikan’, meski sebenarnya Chintya bisa lebih luwes lagi. Adapun Vania tampak lebih percaya diri, sayang untaian ear phone pada tubuhnya terlihat amat ribet. Ini peran penting semacam field producer untuk memperhatikan estetika penampilan standupper. Juga bagaimana agar suara reporter tidak tenggelam oleh suara natural para pengunjuk rasa. Setelah proses laporan dua peliput di lapangan, seharusnya segmen mereka tak diakhiri begitu saja. Mestinya, presenter yang menutup segmen ini, sebagai akhir tema Hari Buruh pada siaran berita hari itu.

Kisah tim peliput

Dea Satriani, yang selain menjadi anchor juga terlibat mengambil gambar aksi May Day di kawasan Monas, berkisah tentang tujuh jam proses peliputan mereka. “Jam 8 pagi sudah tiba di dekat Istana hingga pukul 3 sore kami ikuti aksi demo kali ini,” paparnya. Ia memberi catatan, aksi buruh tahun ini menjadi unik karena digelar tepat di hari Minggu, namun dilarang berbaur dengan massa Car Free Day di Sudirman-Thamrin.

Sebagai salah seorang standupper, Chintya menceritakan serunya liputan di lapangan sebagai pengalaman barunya. “Memang terdapat berbagai rintangan dan masalah seperti cuaca yang sangat terik dan miskomunikasi dikarenakan anggota kelompok yang berpencar,” ungkapnya. Syukur, semua dapat teratasi dengan baik hingga mereka meninggalkan lokasi aksi massa dengan selamat.

Standupper lain, Lucia Vania, mengungkapkan sulitnya menjadi reporter live. “Pertama kalinya mencoba jadi reporter live, ternyata banyak persiapan yang harus dilakukan. Terutama harus berpenampilan rapi,” urainya. Mereka stand by sejak pagi sebelum demo dimulai, karena cukup lama menunggu, cuacanya juga sangat terik, jadi saat melaporkan, kelihatan kondisi mereka sudah tidak rapi lagi. Saat membuat script juga tidak langsung sekali buat jadi. “Beberapa ralat dilakukan agar selaras dengan durasi berita (untuk PKG) dan untuk presenter, bagaimana caranya agar presenter tidak kesulitan untuk menghapal, walau akhirnya masih kesulitan,” terangnya.

Tugas produksi dan pasca produksi diemban oleh Farid Hardika. Ia berperan sebagai juru kamera utama, video editor, music editor dan pengisi voice over pada paket. “Saya mendapat ilmu baru saat editing. Dari situ saya mampu membuat split screen, letter box, dan sebagainya. Sementara untuk music editor, saya meng-cut aransemen secara teliti supaya musik pas dengan bumper,” kata Farid.

Satu juru kamera lain pada aksi di depan gedung DPR, diemban oleh Rina Ayu. Pelajaran penting didapatnya soal kesiapan logistik. Dari DPR ia beranjak ke Stadion Utama Gelora Bung Karno, namun tak dapat mengambil gambar secara optimal karena baterei kamera habis. “Alhasil saya dan Vania hanya merekam menggunakan HP,” kisahnya.

Belajar lebih fokus pada angle, ya…

Leave a Reply

Your email address will not be published.