Dalam sebuah liputan, kadang ada unsur menarik yang tak direncanakan dan justru bisa diangkat menjadi ‘jualan’ utama.
Pada liputan aksi May Day 2016 sebagai Ujian Akhir Semester Jurnalistik Televisi Universitas Multimedia Nusantara di Sudirman-Thamrin-Monas, tim bertujuh -Annisa Putri, Esther Suhana, Felita Herlina, Mila Sari, Ajeng Sekar, Debora Darmawan, Nadia Hersanti- menampilkan menu yang tak jauh berbeda dengan kelompok lain. Bahkan untuk catatan awal, sebelum live tak ada pengantar VO atau PKG dan grafis terkait Hari Buruh. Ujug-ujug –artinya langsung saja, tiba-tiba, sekonyong-konyong- Esther dan Ajeng ‘memanggil’ dua reporternya di lapangan. Kan ketentuan awalnya mesti ada paket pengantar sebelum masuk toss live.
Di luar itu, sebenarnya karya mereka terbilang jempolan. CG Ultima News tertata rapi di layar dilengkapi running text –kecuali saat live kedua Chargennya jadi melompong ya-, juga ada peran stylist alias penata busana yang menyiapkan wardrobe selaras lengkap dengan kalung asesorisnya. Toplah.
Selain aksi buruh yang nyaris tak berbeda dengan lainnya, di live Annisa ada narasumber keren karena Wenri Wanhar dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bukan semata jurnalis, tapi juga sejarawan. Sebenarnya, kisah Wenri tentang histori May Day bisa dikemas menarik dalam eksplorasi tanya jawab lebih mendalam. Pada live pertama ini ada masukan mengenai keterangan locator. Harusnya tak usah memakai istilah ‘Depan Istana Merdeka’, langsung saja, hilangkan kata ‘depan’ itu. Masukan lain, atas nama kesejajaran narsum dan jurnalis, Annisa tak perlu memanggil kata ‘Mas’ untuk menyebut Wenri.
Usai live kedua yang dibawakan Debora inilah sebenarnya mereka memiliki ‘tendangan’ menarik. Di antara media lain yang hanya menampilkan sekilas sosok ‘Presiden Perdamaian’, tim ini berhasil mewawancarai panjang Herawaty Rinto Paeran. Kritik mendalam, seharusnya topik itu yang menjadi ‘jualan’ utama kelompok ini. Tampilkan profil personal dan sekuence lebih panjang dari sang ‘presiden’. Jangan lupa ya, di CG pun istilah ‘Presiden Perdamaian’ harus memakai tanda kutip, karena itu bukan istilah resmi tapi julukan yang dibuatnya sendiri. Di sini diperlukan reflek dan kecepatan berpikir, untuk mengubah yang tak terencana menjadi sajian utama.
Masukan kecil –tapi penting- lain mengapa dalam footage ada keterangan ‘Dokumentasi Pribadi’? Kan ini kerja bersama kelompok dan bukan karya perseroangan? Selain itu, saat mengambil wawancara atau sekuence, usahakan tak ada gambar orang merokok. Kalau sudah terlanjur dan tak dapat diulang (lolos dari pengamatan saat ‘take’) cobalah di-blur di proses pasca produksi.
Catatan peliputan
Mila Sari, salah seorang juru kamera, menekankan pentingnya keamanan logistik saat liputan. “Kesan saya pada peliputan ini cukup menyenangkan, karna ini pertama kalinya saya meliput sebuah demo tahunan. Kendalanya mungkin hanya pada kamera, karena saya tidak membawa membawa stock baterai tambahan,” paparnya.
Ajeng, yang menjadi anchor di ruang siaran, juga ikut turun saat Hari H peliputan. Ia merasa ternyata tidak mudah menjadi wartawan, yang menurutnya harus mempunyai fisik cekatan, karena tidak bisa berdiam di satu titik dan harus berlari mengejar sana sini untuk belanja gambar. “Saya mendapat banyak pengalaman, karena belum tentu semua orang bisa merasakan jalan panjang menunggu massa, hingga long march ke Istana Merdeka,” kisahnya.
Salah seorang standupper, Debora, mengaku nyaris gagal menjadi reporter karena ada masalah dengan tenggorokannya. “Menjadi reporter merupakan pengalaman pertama sehingga sangat gugup, sempat tak terekam apa yang saya katakan tapi akhirnya tertangani dengan baik. Terpenting, saya berusaha dulu untuk melakukan yang terbaik,” katanya.
Juru kamera lain, Felita, harus berjuang keras dengan kecepatan pergerakan suasana dan cuaca. “Kami sudah stand-by di sebuah lokasi, tiba-tiba rombongan buruh melewati lokasi dengan tidak beraturan, sehingga harus cepat mengindar. Kedua, cuaca yang tidak menentu sehingga harus mengatur teknis kamera secara cepat,” jelasnya. Selain itu, kesulitan terakhir adalah pengambilan momen karena situasi yang terlalu ramai, sehingga harus lebih selektif dan memperhatikan gerakan sekitar untuk mendapatkan stockshoot yang sesuai. Jam terbang akan berbicara dalam urusan kecermatan dan ketangkasan seperti ini.
Pengalaman menghadapi visual perokok diceritakan Esther. “Saat mewawancarai narasumber dari AJI terlihat di kamera, ada orang memegang rokok dan kami sadar hal tersebut tidak boleh. Kami pun panik,” ceritanya. Tapi, Annisa dan Mila tetap mengejar narasumber tersebut dan meminta diwawancarai sekali lagi tanpa rokok di tangannya. Narasumber itu bersedia. (Catatan: anehnya, yang muncul di layar tetap yang ada rokoknya? Ada dua shot, yakni di antara jurnalis pendemo dan latar perokok di belakang ‘Presiden Perdamaian’).
Nadia merupakan juru kamera yang mengambil gambar ‘Presiden Perdamaian’. “Saya merasa beruntung mendapatkan narasumber langka ini,” katanya. Pertanyaannya, mengapa tak dieksplorasi shot-shotnya selain wawancara? Aktivitas Herawaty dalam sekuence berorasi atau naik mobil khasnya…
Annisa yang berperan menyusun konsep pengambilan gambar serta produser eksekutif saat siaran di studio mengungkapkan pelajaran dari tugas ini. Butuh kesabaran tingkat ‘dewa’, misalnya saat mesti membuang waktu lebih lama karena banyak kesalahan hingga harus take ulang. “Kami mendapat lesson learn, keberanian dan rasa ingin mencoba yang besar bahkan kesabaran akan membantu proses kerja seorang jurnalis terutama di dunia pertelevisian,” tegasnya