Membawa nama besar film pertamanya, Rudy Habibie alias Habibie & Ainun 2 seperti kelimpungan menggendong beratnya beban itu.
Habibie & Ainun, dirilis pada akhir 2012, memang fenomenal. Film yang dibintangi duo Reza Rahardian dan Bunga Citra Lestari (BCL) itu sukses menembus 4 juta jumlah penonton, sekaligus masuk dalam short-lists film Indonesia terlaris sepanjang sejarah. Didahului novel berdasar kisah nyata berjudul serupa yang terjual hingga ratusan ribu eksemplar, film Habibie & Ainun begitu menggetarkan loket-loket gedung bioskop. Bahkan termasuk ‘Cinta Sejati’, lagu tema yang juga dinyanyikan BCL, seolah menjadi lagu abadi.“Saat aku tak lagi di sisimu Ku tunggu kau di keabadian… Cinta kita melukiskan sejarah… Menggelarkan cerita penuh suka cita… Sehingga siapa pun insan TuhanPasti tahu cinta kita sejati…”
Lalu, sepekan menjelang Lebaran 2016, datanglah Rudy Habibie, yang dilabeli sebagai ‘Habibie & Ainun 2’. Pemeran utamanya sama, Reza Rahardian –ikon film Indonesia kekinian. Ada pula hadirnya Chelsea Elizabeth Islan –lagi-lagi inilah artis mahal Indonesia saat ini- yang berperan sebagai Ilona Ianovska, cinta pertama Habibie. ‘Bonus’-nya, ada Milane Fernandez, memerankan Sofia, sahabat Ilona. Bintang lain tentu sutradara Hanung Bramantyo, yang tak perlu lagi dijelaskan curriculum vitaenya.
Tapi, ini ‘film idealis’, kalau tak mau dikatakan tegas sebagai film berat. Bagi ibu-ibu yang mendambakan akan keluar teater dengan defisit berat pada persediaan air mata di kantungnya, tenang saja.. hal itu tak akan terjadi. Bagi bapak-bapak yang berharap inspirasi dan gagasan cemerlang Habibie yang membawanya menjadi Menteri Riset dan Teknologi selama dua dekade, bersiaplah untuk sebuah insight yang ‘nanggung’.
Pemecah kebekuan
Justru yang menjadi pencerahan sekaligus ‘ice breaker’ yakni show kecerdasan seorang Habibie hadir dari kisah-kisah unik nan detail. Misalnya bagaimana ia membetulkan alat pemanas di rumah calon induk semang keturunan Jerman-Belanda dengan bantuan air dalam gelas untuk memastikan posisi alat itu terlalu miring. Atau saat Rudy memesan makanan dan minuman untuk kawan-kawannya di kafe dalam hapalan amat kuat, tanpa mencatat. Atau saat Habibie muda menemukan ilham mencari solusi masalah kapal selam lewat sosisnya yang patah saat direbus terlalu panas.
So, what do you expect? Film ini menghabiskan mayoritas durasi 142 menitnya untuk dua hal: dilema cinta pertama Habibie dan kengototannya untuk membawa PPI (Perhimpunan/Persatuan Pelajar Indonesia) pada konsep pembangunan strategis Indonesia, khususnya industri dirgantara. Gambar-gambar cantik dari kota Aachen Jerman, ditambah suasana kampus tua yang diambil dari salah satu sudut Universitas Gadjah Mada, memberi sosok plus pada film ini. Selebihnya, intrik dan perkelahian-perkelahian yang kurang menarik –meski mungkin hal itu benar-benar saja terjadi di tahun 1960-an.
Satu sisi manisnya, berterimakasihlah pada generasi ‘Stand-Up Comedy’. Saya tak habis pikir, siapa yang memerankan Peter Manumasa, Lim Keng Kie dan Poltak Hasibuan -sahabat-sahabat Rudy alias Habibie muda- seandainya tak ada Pandji Pragiwaksono, Ernest Prakasa dan Boris Bokir.
Dan, tunggulah sampai film ini kelar menyelesaikan credit titlenya, maka akan tampak keluarga Punjabi sudah menyiapkan sekuel selanjutnya: Habibie & Ainun 3…