Cara institusi kesehatan me-manage masalah diuji dalam persoalan vaksin Imunisasi palsu. Kasus vaksin palsu menunjukkan buruknya manajemen krisis rumah sakit.
http://www.youtube.com/watch?v=Jy874Foj-M8
Saya ada di lobby RS Mutiara Bunda, Jalan Haji Mencong, Ciledug, Jum’at (15/7) malam lalu. Awalnya, kami sekeluarga sedang berputar-putar mengitar Jakarta sore hari, sampai masuk kabar di grup telepon isteri saya bahwa rumah sakit tempat kami mem-vaksin imunisasi dua anak kami itu bakal menggelar konferensi pers pada pukul delapan malam.
Sampai di RS Mutiara Bunda 19.30 WIB, kami parkir mobil di halaman belakang rumah sakit, dan menyempatkan makan di warung makan ala-ala masakan Jepang di seberang RS. Sebuah mobil berlabel KompasTv menyiratkan informasi akan adanya keterangan dari pihak rumah sakit bukan isapan jempol. Dan, setengah jam kemudian, situasi di lobby RS menjadi penuh sesak dengan kedatangan orangtua yang pernah memvaksin anaknya di sana. Penuh. Saling teriak. Nyaris chaos. Demi pertimbangan keamanan, saya putuskan memulangkan anak-isteri ke rumah.
Meski nama RS ini tak ada di box Harian Kompas pagi harinya, namun Mutiara Bunda menjadi sasaran serbuan warga karena terucap dalam Rapat Kerja Menteri Kesehatan dengan Komisi IX DPR, sehari sebelumnya. Begitu Detikcom, Liputan6.com, dan Okezone merilis nama-nama rumah sakit, klinik, dan fasilitas kesehatan yang dianggap menggunakan vaksin palsu, Mutiara Bunda seperti kewalahan menghadapi tuntutan klarifikasi warga. “Dalam sehari ini ada tiga kali keterangan dari pihak rumah sakit. Sebelumnya, siang dan sore tadi mereka sudah bicara, tapi memang audiens-nya sedikit. Mungkin karena malam ini jam pulang kerja, banyak yang datang,” kata seorang juru warta saat menunggu keterangan dokter pukul 20.00 WIB.
Dan, saat ruang informasi itu dibuka, tampaklah kegaduhan amat luar biasa. Dibuka oleh seorang yang mengaku kuasa hukum RS Mutiara Bunda, tak sampai tiga menit ia kemudian mengoper kendali penjelasan kepada dr. Toniman Koeswadjaja, dokter anak sekaligus direktur (baca: pemilik) Rumah Sakit Ibu dan Anak Mutiara Bunda. Tak urung, menghadapi puluhan manusia beringas, ia tampak terbata-bata. Bicara sedikit, langsung dipotong dengan suara keras bersahut-sahutan. Seorang petugas kepolisian Polsek Ciledug di belakangnya pun tak kuasa mengatasi keributan itu. Aduh, susah sekali saya menceritakan betapa riuhnya suasana saat itu.
“Dokter ini orang pintar, kok tidak bisa menjelaskan pada kami orang bodoh…”
“Jelaskan saja, intinya rumah sakit ini menggunakan vaksin palsu atau tidak, begitu saja..”
“Kalau memang RS ini tidak menggunakan vaksin palsu, garansinya apa? Jaminannya apa? Kenapa menteri menyebut nama RS ini?”
“Kenapa manajemen rumah sakit ini membeli dari yang tidak resmi? Sejak kapan?”
“Oii sabar… biar dijelasin dulu..”
“Dokter ini Islam? Islam apa enggak? Kalau Islam, ayo bersumpah…”
“Oiii.. jangan ditutup pintunya, mau ke mana itu…”
“Anda ini membantah pemberitaan media? Menyangkal pernyataan BPOM?”
“Emang ambil vaksin murah biar dijual mahal ya..”
“Sabar saudara, satu saja yang ngomong biar jelas…”
Video yang saya ambil di atas tak sampai tiga menit, tapi kiranya cukup menjelaskan suasana saat itu. Sedih, tapi tak banyak yang bisa saya perbuat. Saya menjalankan tugas sebagai orangtua dari kedua anak saya yang pernah divaksin di sana. Di sisi lain, saya juga jurnalis dari media tempat saya bekerja, yang saat itu belum bisa saya deteksi apakah ada tim peliput (kontributor) ada di sana. Dalam aspek lain, saya orang yang menggeluti Ilmu Komunikasi, dan merasa ada yang salah dalam cara meng-handle krisis seperti ini. Satu-satunya yang sempat saya perbuat, saya tahu mereka sudah menyiapkan rilis tertulis bak keterangan pers yang dibacakan saat acara-acara temu media, yakni berseru, “Tadi kan sudah siapkan rilis. Sudah itu saja dibaca…” Tapi, anjuran saya itu tertelan oleh deru massa yang tak mau kalah mengutarakan kekesalannya.
Krisis komunikasi
Ternyata, tak hanya RS Mutiara Bunda yang kesulitan mengatasi krisis komunikasi dalam persoalan ini. Beberapa rumah sakit maupun klinik lain juga keteteran menghadapi serbuan warga. Salah satu yang menghebohkan, kondisi RS Elisabeth Bekasi yang harus memperketat keamanan karena takut diamuk massa akibat insiden serupa. Kondisi serupa dialami Mutiara Bunda, yang sehari kemudian tampak adanya tambahan personel keamanan dari Polsek Ciledug.
Salah satu kelemahan dalam meng-handle krisis yakni ‘lemahnya perencanaan’. Padahal dalam kondisi diserbu user dan disorot media seperti ini, reputasi serta nama baik menjadi taruhan institusi itu. Apalagi institusi yang bermasalah ini adalah rumah sakit, yang tentu jaminan akan kualitas pelayanan publiknya seharusnya ‘bukan coba-coba’.
Dalam perencanaan harus dipastikan, siapa omong apa, berapa lama, serta bagaimana menghadapi pertanyaan maupun hal-hal tak terduga. Jika tak siap dalam perencanaan, jangan sungkan untuk menunda. Sekali lagi, daripada reputasi jadi taruhannya.
Saya tak tahu apakah rumah sakit memiliki tim khusus untuk mengatasi krisis seperti ini. Atau cukup ‘dibereskan’ oleh dokter anak kum direktur kum pemilik didampingi kuasa hukum dan petugas kepolisian setempat? Tim komunikasi inilah yang seharusnya bergerak. Dari mengoptimalkan website maupun sosial media perusahaan, menempelkan dan membagi selebaran, serta membuat simulasi konferensi pers.
Bagaimana jika situasinya begitu crowd, tak sempat rapat, tak sempat berdiskusi secara internal? Bicara seperlunya, tegas, minimalkan tanya jawab dan beri kepastian pada penanya. Dalam situasi sangat mendesak, ketegasan –dengan perlindungan keamanan memadai- dapat menjadi sarana escape sementara. Meski tentu saja, menunda tak boleh terlalu lama.
Daripada memberikan kalimat, “No comment”, atau “Kami tidak tahu”, sebaiknya tunda secara tegas dengan memberi kepastian yang positif. Misalnya, “Kami akan mengkaji pernyataan Menteri Kesehatan dalam rapat kerja DPR serta pemberitaan di media,” “Yang bisa kami pastikan, kami memberikan pelayanan terbaik bagi para pengguna jasa rumah sakit ini.” Dalam kasus ini, yang saya ketahui, pihak rumah sakit tidak ‘sengaja’ membeli vaksin palsu. Artinya, saat transaksi berlangsung –bahkan bukti jual belinya pun beredar di dunia online- pihak rumah sakit tak mengetahui dari penjual vaksin bahwa barang itu palsu.
‘Keriuhan’ di RS Mutiara Bunda, berakhir setelah sang dokter diminta membuat surat pernyataan kesepakatan bersama, antara pihak rumah sakit dan warga selaku user. Dalam hal ini, bukan masalah kalah atau menang, tapi masalahnya, siapa yang mengendalikan krisis komunikasi itu?